Joaquin, si tukang cukur di Triana, Sevilla, itu mengasah pisaunya dengan cara menggoso-gosokannya pada sehelai kulit sapi yang tergantung di tembok.
Dengan pisau tajam di genggamannya dia pun membalik badan dan bertanya kepada saya yang terduduk pasrah di kursi 'pesakitan':
Entonces, eres del Sevilla o er Beti? (Jadi kamu pendukung Sevilla FC atau Real Betis?)
Pertanyaan fatal!
Peristiwa yang terjadi sekitar 15 tahun yang lalu itu selalu muncul kembali ke permukaan kesadaran saya setiap kali derbi Sevillano ini akan berlangsung seperti Minggu malam ini jam 9 waktu Spanyol atau Senin jam 3 dini hari waktu Jakarta.
"Sevilla atau Betis? Betis atau Sevilla?"
Seakan melebihi pilihan iman apalagi agama, pilihan klub ini seakan hal pertama yang harus dijawab oleh setiap bayi yang lahir di kota Sevilla, di Andalucia, Spanyol kidul, juga pada setiap pendatang yang sempat menetap di sana seperti yang saya lakukan waktu itu.
Persaingan dua tim sekota itu memang luar biasa. Membelah setiap bagian kehidupan kota, mengiris setiap persendian pergaulan, tapi sekaligus menyatukan!
Nyaris tak ada ruang kerja, pasar, ruang kelas (bahkan sampai TK), toko kelontong, kantor, puskesmas, rumah sakit, sampai rumah tangga, keluarga, bahkan ranjang istri-suami yang tak terpengaruh oleh persaingan dua klub sepak bola di salah satu kota terpanas di Spanyol itu.
Derbi malam ini yang memuncaki hari ke 27 musim kompetisi liga Santander adalah edisi ke-100, sejak derbi antara kedua klub ini terjadi pertama kali pada tahun 1909.
Sevilla FC yang berdiri 1890 dan adalah klub tertua kedua di Spanyol setelah Recreativo Huelva ini didukung secara umum oleh masyarakat kelas menengah ke atas kota Sevilla.