[Bahasa Kolonial 15]
Bangsa Perancis dari jaman dulu sudah terkenal sebagai bangsa yang gaduh. Di ruang pertemuan maupun di alun-alun, di kamar tidur maupun di dapur.
Bayangkan saja: di , tahun 1851 mereka sudah men-definisi-kan suatu kata yang di masa kini sungguh mendunia: coup d'etat atau yang dibaca dan kita serap di bahasa Indonesia sebagai kudeta.
Secara harafiah coup d'etat berasal dari dua kata coup dan etat. Coup berarti pukulan dan etat adalah negara. Coup d'etat secara gamblang adalah pukulan atas negara.
Definisi awal sesuai konteks Perancis saat itu adalah pengambilalihan kekuasaan secara paksa oleh satu badan negara atas badan negara yang lain. Maklum, yang terjadi di Republik Perancis saat itu adalah presiden Louis Napoleon Bonaparte yang secara paksa membubarkan majelis nasional yang adalah lembaga yudikatif.
Hobby gaduh secara politik manusia-manusia bersuara sengau itu sebenarnya sudah terjadi sejak lama sebelum itu.
Di awal tahun 1800an mereka bahkan sudah menemukan kata complot yang dilafalkan dalam bahasa Perancis sebagai komplo (bukan koplo!).
Kata inilah yang secara fonetik kita serap sebagai kata komplot atau komplotan. Kata Complot memiliki arti rencana rahasia yang dibuat sekelompok orang untuk mengguncangkan kekuasaan seorang tokoh atau suatu institusi publik yang kadangkala dilakukan dengan paksaan fisik.
Dengan demikian kata kudeta (coup d'etat) dan berkomplot (complot) sangat erat. Pengambilalihan kekuasaan secara paksa terhadap suatu pemerintahan atau institusi memang sering dilakukan lewat suatu perkomplotan atau persekongkolan.
Bukan negara garuda namanya kalau kalah gaduh dengan negeri ayam jago. Hal ini pulalah yang mungkin ditangkap secara tepat oleh beberapa politikus ulung bangsa Indonesia dengan istilah yang mulai populer yaitu begal partai.