"Hati-hati kepleset Mas, jalanannya licin sekali pasti!
Salam buat istri dan anak-anakmu.. Dadaa!"
Lalu bersahut-sahutan kata "dadaaa" pun terdengar. Bude, pakde, oom, tante, dan semua sepupuku yang siang ceria itu berkumpul di arisan keluarga di Jakarta. Semua berebut mengatakan "dadaa" sambil berteriak-teriak.
Layar telepon genggamku sejenak dua jenak penuh dengan wajah-wajah dan senyum hangat keluargaku. Aku hanya bisa melambaikan tanganku yang terbungkus sarung tangan tebal sebelum video call itu terputus.
Kehangatan jakarta, kehangatan cengkrama keluarga cukup sampai di situ.
Kembali ke kenyataan.
Kulepaskan earphone di telinga dan memasukannya ke dalam tas. Sulit membuka rijsluiting tas dengan sarung tangan begitu tebal membungkus jari-jariku.
Kumenengadah. Layar kecil di belakang bilik kemudi supir bus 370 de yang kutumpangi memperlihatkan nama halte berikutnya 'Kessel-lo Heidebergstraat', halte tujuanku. Aku pun berdiri, berjalan terhuyung di dalam bus yang melaju bergerak menuju pintu keluar tengah.
Minggu pagi itu jam 5.45 saat di halte, pintu busku membuka dan angin beku menerpa wajah dan telinga.
Langit masih gelap pekat tak berbintang saat ku turun. Matahari baru terbit nanti sekitar jam setengah sembilan. Suhu udara 'hanya' minus dua derajat, namun angin dingin tajam mulai mencubiti cuping telingaku.
Permukaan jalan masih sangat licin karena terlapisi es yang berwarna kehitaman, sisa salju turun yang lalu membeku sejak dua hari yang lalu. Mataku yang masih sepat harus bisa membedakan mana jalan kering, mana lapisan hitam es yang menyebalkan. Sekali dua kali terpeleset juga, untung tidak jatuh.