Saat Fidel Castro diberitakan meninggal tempo hari, pikiran saya langsung melayang ke satu sahabatnya, sesama tokoh antikapitalis Amerika Latin, sesama pengusung ideologi kiri, yang namanya kurang kita kenal: Salvador Allende.
Secara singkat, almarhum Salvador Allende (dibaca: Ayende) adalah politikus partai sosialis yang terpilih secara demokratis menjadi presiden negara Chile pada tanggal 3 November 1970 dan tewas, ditumbangkan lewat coup d’état militer pada 11 September 1973.
Sebagaimana Castro, Allende yang sebelumnya adalah dokter bedah merupakan pengusung ideologi kiri di Amerika latin dan sebagaimana Castro pula, Allende adalah salah simbol perlawanan Amerika latin terhadap kekuasaan ekonomi dan politik Amerika Serikat.
Penyusuran saya di internet menunjukkan bahwa persahabatan antara Castro dan Allende paling tidak diawali lewat bantuan dana dari Kuba terhadap partai Unidad Popular (UP) yang mengusung Allende pada pemilu presiden yang diadakan di Chile di tahun 1970. Kemenangan Allende ini membuat presiden Amerika Serikat saat itu, Richard Nixon marah besar terhadap CIA yang dianggap salah perhitungan dalam mengestimasi kekuatan partai UP yang merupakan gabungan dari berbagai partai kiri di Chile. Proses Allende untuk masuk ke istana kepresidenan Chile sempat diwarnai satu insiden militer yang diduga didalangi CIA. Insiden ini menewaskan Pangab Chile saat itu, Jendral Rene Schneider.
Sosialisme Damai dan Krisis
Yang membuat Allende berbeda dari Castro adalah revolusi damai yang coba diusungnya lewat paham “sosialisme a la Chile” (vía chilena al socialismo). Berbeda dengan revolusi Kuba yang diwarnai dengan pertempuran senjata di tahun 1959, revolusi Allende bertujuan untuk secara demokratis dan damai mengubah negara Chile dari suatu negara kapitalis yang belum berkembang menjadi suatu negara sosialis.
Salah satu langkah ekonomi terbesar yang dilakukan Allende adalah menggegolkan undang-undang nasionalisasi tambang tembaga pada tahun 1971 yang merupakan sumber devisa utama Chile saat itu. Korban dari nasionalisasi tambang tembaga ini, tak lain dan tak bukan adalah dua perusahaan milik Amerika Serikat, Anaconda Copper Mining Company dan Kennecott Corporation. Tidak hanya hak kepemilikannya dicabut, kedua perusahaan ini juga dibuat menjadi berhutang miliaran dolar kepada pemerintah Chile sebagai ganti kerugian ke negara Chile.
Kebijakan penting Allende lainnya adalah pembekuan harga barang-barang kebutuhan pokok, penaikan gaji karyawan secara massal sampai 60%, dan reformasi pertanian di mana kepemilikan lahan pertanian dibatasi sampai dengan 80 hektar dan pembagian lahan yang berlebih tersebut kepada petani-petani kecil (Kay, 1975).
Paham dan kebijakan ekonomi Allende pun berbuah. Pertama, sebagaimana Kuba di bawah Fidel Castro di-embargo oleh Amerika Serikat, Chile di bawah pemerintahan Salvador Allende pun mengalami tekanan ekonomi, perbankan dan politik dari Negeri Paman Sam. Kedua, kebijakannya yang lebih berpihak kepada rakyat kecil terutama buruh dan petani, mendapat tentangan dari pengusaha dan pemilik modal.
Sejak tahun 1972, pemerintahan Allende diwarnai krisis ekonomi dengan tensi yang terus naik. Diduga keras didalangi oleh Amerika Serikat, harga tembaga di pasaran dunia merosot 30% dalam waktu hanya setahun. Hal ini membuat pemasukan devisa Chile turun tajam dan inflasi dalam negeri menguat karena naiknya kebutuhan akan barang impor tidak bisa ditahan. Kebijakan Allende untuk melakukan penjatahan kebutuhan barang pokok justru menimbulkan pasar gelap di mana sembako dapat diperoleh dengan harga selangit. Demonstrasi massa, yang di kemudian hari juga ditengarai didukung oleh CIA, tidak bisa dielakkan sebagai reaksi atas krisis ekonomi ini.
Di pentas politik, Allende pun mulai kehilangan dukungan di Kongres. Tahun 1973, krisis politik mencapai puncaknya. Partai-partai kiri dan tengah terutama Partai Demokrat Kristen yang dulu mendukung suaranya di Kongres, satu per satu mengalihkan dukungan mereka ke partai nasional atau PN yang merupakan pihak oposisi. Kondisi ini diperparah dengan munculnya milisi-milisi bersenjata baik dari pihak sayap kiri radikal maupun ekstrem kanan yang seringkali terlibat bentrokan senjata. Kaum pekerja dan buruh juga membentuk aliansi sendiri yang menyatakan diri bebas dari segala partai mana pun maupun pemerintahan.