Lihat ke Halaman Asli

Jepe Jepe

TERVERIFIKASI

kothak kathik gathuk

Ada 'Jebakan Betmen' di Pasal 33 UUD45?

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14285781481758333400

[caption id="attachment_408969" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi | Foto: Ajie Nugroho - Kompasianer Hobi Jepret"][/caption]

Setelah hampir 70 tahun merdeka, ternyata negara kita hanya memiliki konsep pembagian atau distribusi yang tidak kuat. Secara praktis misalnya saya tidak menemukan adanya suatu konsep dasar yang bisa kita pakai sebagai pegangan untuk membagi pendapatan ekonomi rakyat sebagai suatu negara secara adil.

Kala bicara tentang pembagian atau distribusi pendapatan ekonomi, maka konsep yang paling sering kita jadikan acuan adalah konsep yang terkandung dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 45 berbunyi:

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Adalah frasa "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" yang sering kita pandang sebagai konsep pembagian yang adil. Dengan kata lain, saat sumber daya alam atau SDA (bumi, air dan kekayaan alam) di negeri kita dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, saat itulah pembagian pendapatan ekonomi di negara kita telah dilakukan dengan adil.

Frasa "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" yang selalu terdengar begitu ideal bagi sebagian besar dari kita, justru saya tenggarai sebagai asal usul diambilnya berbagai kebijakan yang menyebabkan berbagai ketidakadilan ekonomi selama ini.

Utilitarianisme di balik frasa "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat"

Frasa "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" dalam pasal 33 ayat 3 UUD 45 menyatakan tujuan dari penguasaan dan penggunaan bumi dan air dan kekayaan alam di negara kita. Ada dua komponen dalam frasa tujuan ini yaitu "untuk sebesar besar" dan "kemakmuran rakyat".

Jika "untuk sebesar-besar" dapat kita ganti dengan "untuk me-maksimal-kan", maka keseluruhan frasa dapat pula kita singkat sebagai "untuk me-maksimal-kan kemakmuran rakyat".

"Untuk me-maksimal-kan kemakmuran rakyat" adalah suatu kalimat yang sangat sesuai dengan faham utilitarianisme. Menurut Wikipedia berbahasa Indonesia, utilitarianisme adalah adalah suatu teori dari segi etika normatif yang menyatakan bahwa suatu tindakan yang patut adalah yang memaksimalkan penggunaan (utilitas atau utility). "Penggunaan" atau "utilitas" biasanya didefinisikan sebagai kebahagiaan atau kemakmuran. Utilitarinisme sendiri seringkali digolongkan dalam mazhab pemikiran hedonisme yaitu suatu pemikiran yang menganggap bahwa kebahagiaan adalah hal yang paling medasar. Pandangan ini sering diasosiasikan sebagai pandangan yang bertujuan memaksimalkan kebahagiaan.

Dalam ilmu ekonomi, pendekatan utilitarianisme adalah salah satu indikator atau pengukur kemakmuran masyarakat suatu negara yang paling sering dipakai. Indikator ini secara kasar adalah penjumlahan total dari utilitas-utilitas (atau kemakmuran) setiap anggota masyarakat (perorangan) di negara tersebut. Semakin besar jumlah total kemakmuran tiap-tiap perorangan anggota masyarakat, semakin makmurlah negara yang bersangkutan. Dengan demikian tidaklah heran jika me-maksimal-kan jumlah total kemakmuran menjadi tujuan utama dari pendekatan utilitarianisme dalam ekonomi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline