Lihat ke Halaman Asli

Jepe Jepe

TERVERIFIKASI

kothak kathik gathuk

Hore..Mama & Papa Menikah!

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1343941866662142896

[caption id="attachment_197855" align="aligncenter" width="501" caption="dok.pribadi"][/caption] Maman et Papa se marient!! (Mama dan Papa Menikah)... Itu yang tertulis di sampul depan undangan perkawinan yang baru saja saya terima dari seorang sahabat yang orang Prancis. Sahabat saya ini sudah hampir 10 tahun hidup bersama dengan kekasihnya. Dari hidup bersama ini, mereka sudah dikaruniai sepasang putra putri yang lucu-lucu yang berusia 7 dan 4 tahun. Bagi kita orang Indonesia, hidup bersama di luar ikatan perkawinan bukan merupakan hal yang  lazim. Lebih tidak lazim lagi adalah menikah setelah sekian lama hidup bersama dengan pasangan dan bahkan memiliki anak-anak. Di Perancis, seperti di negara barat lainnya, karena satu dan lain hal, pernikahan baik sipil maupun religius semakin menjadi tidak populer. Data statistik Perancis (INSEE) mencatat terjadinya lebih dari 400 ribu perkawinan sipil di tahun 1972. Pada tahun 2007 angka perkawinan sipil hanya tercatat sebanyak 260 ribu. Perkawinan religius (di gereja Katolik) tercatat mengalami penurunan yang lebih cepat lagi: tahun 1992 masih terjadi 140 ribu perkawinan di Gereja Katolik sementara pada tahun 2009 hanya terjadi 77 ribu perkawinan. Berlawanan dengan kecenderungan statistik tersebut, walau agak terlambat (10 tahun!) ternyata sahabat saya dan pasangannya ternyata telah mengambil keputusan untuk menikah secara sipil dan gereja. Saat membaca undangan itu ada satu hal yang langsung melintas di kepala: rasa gembira dan syukur bahwa akhirnya sahabat saya mengambil keputusan tersebut. Walau semakin tidak populer, pernikahan ternyata tetap menjadi satu pilihan yang diperhitungkan pasangan-pasangan muda di barat! Apa yang kira-kira memotivasi kaum muda di Eropa barat untuk tetap menikah? Dari pergaulan dan pengamatan pribadi, motivasi kaum muda di Eropa Barat cukup berbeda dengan motivasi kaum muda di Indonesia untuk menikah. Paling tidak ada tiga macam motivasi yang cukup menarik untuk dibahas:

  • Motivasi religius.

Menyerahkan hidup keluarga kepada Penyelenggaraan Ilahi atau paling tidak untuk menghindari hidup dalam perzinahan merupakan motivasi utama bagi pasangan yang religius untuk melangsungkan perkawinan secara agama. Di Indonesia hal ini adalah motivasi yang lumrah. Di Eropa Barat motivasi ini semakin jarang ditemukan seiring dengan semakin kuatnya pola pikir sekular dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini yang menyebabkan semakin tidak populernya pernikahan di Gereja.

  • Motivasi sentimentil.

Peresmian hubungan lewat pernikahan sipil ataupun agama dianggap mematenkan hubungan yang telah terjalin selama masa pacaran (maupun selama hidup bersama). Hal inilah yang rasanya seringkali menjadi motivasi utama pernikahan kaum muda di Eropa Barat dan hal ini pula yang ironisnya membuat pernikahan menjadi tertunda maupun tidak terjadi sama sekali! Pertanyaan apakah aku siap menikah dengan pasanganku dan hanya terpisah darinya saat maut menjemput ...(till death do us part...) dapat menjadi pertanyaan yang terjawab setelah digumuli bertahun-tahun, seperti yang terjadi dengan sahabat saya dan pasangannya. Pasangan-pasangan muda di Eropa Barat nampaknya punya banyak waktu dan tidak terburu-buru untuk mengatakan Yes I do! atau Oui je le veux! ... bahkan sambil hidup bersama dan memiliki anak dengan pasangannnya... Yang membuat agak repot adalah adanya tahayul yang cukup dipercayai kaum muda di Eropa Barat bahwa pasangan yang menikah akan lebih berpotensi untuk berpisah (bercerai). Momok atau tahayul ini sayangnya cukup kerap terjadi di dunia nyata. Pembalikan logika pun terjadi di antara kaum muda di Eropa Barat yang konon kemampuan berlogikanya umumnya di atas rata-rata: supaya tidak bercerai ya sudah..tidak usah menikah saja. Cukup hidup bersama!... (glodakh!)

  • Motivasi finansial

Status 'menikah' di Eropa Barat pada umumnya menguntungkan dari sisi pajak pasangan yang bersangkutan.  Dalam banyak kasus, penggabungan dua penghasilan (suami dan istri) dalam satu unit keluarga sebagai wajib pajak akan menghasilkan jumlah pajak tahunan yang lebih kecil dari pada jumlah pajak dua orang yang hidup di luar pernikahan.  Keuntungan finansial dalam rumah tangga pasangan yang menikah tidak hanya terjadi dari penggabungan pendapatan namun juga dari jumlah anak dalam rumah tangga: semakin banyak jumlah anak semakin progresif jumlah pajak yang harus dibayar oleh suatu rumah tangga. Motivasi finansial ini nyata terjadi, terutama bagi calon mempelai yang penghasilannya secara signifikan berbeda. Motivasi ini pula yang seringkali dilontarkan sebagai olok-olok oleh mereka yang menentang pernikahan. *** Masih ada banyak motivasi lain yang pasti terluput dari pengamatan dalam membuat corat-coret ini. Pernikahan walau semakin tidak populer ternyata tetap menjadi pilihan bagi kaum muda di Eropa Barat. Ah, apapun motivasinya, sekali lagi saya sungguh bersyukur bahwa sahabat saya itu telah memutuskan untuk menikah. Selamat melanjutkan pelayaran biduk keluargamu, sahabatku! Semoga kalian langgeng sampai kaken ninen bak mimi lan mintuno! Referensi statistik: - Institut Nasional Statistik dan Studi Ekonomi (INSEE.fr) - Statistik Gereja Katolik di Perancis (2011)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline