[caption id="attachment_189662" align="aligncenter" width="503" caption="Warung Jawa berbendera Suriname (dok.pribadi)"][/caption] Ada suatu keasyikan tersendiri buat saya dalam setiap kesempatan melawat ke negeri Belanda: mengintip warung-warung 'Jawa' yang banyak bertebaran di berbagai kota besar di sana. Intiplah menunya lewat jendela estalase warung-warung itu dan Anda akan menemukan nama-nama masakan yang khas di telinga kita: nasi rames, bami goreng, sate,... dan yang agak kurang sering didengar, misalnya bami rames, nasi jawa... Sepintas saya berpikir bahwa warung-warung itu dimiliki oleh orang-orang keturunan Indonesia. Keliru! Kebanyakan dari warung itu justru dimiliki oleh orang-orang asal negara... Suriname! Hmm.. apa ini? Klaim atas nasi rames? Klaim atas masakan Indonesia? Klaim atas budaya Indonesia?! Eittss!! jangan asal tuding... Sejarah (nl.wikipedia.org) mencatat terjadinya migrasi pekerja dari Jawa ke Suriname yang terletak di Amerika Selatan (di utara Brazil) selama periode 1894-1939 yang didatangkan oleh Pemerintah Belanda untuk bekerja di perkebunan, pertambangan bauksit maupun pembangunan infrastruktur jalan rel kereta api di Suriname. Sepanjang 45 tahun tersebut, tercatat telah beremigrasi sekitar 33 ribu penduduk dari Jawa Tengah dan Jawa Timur ke Suriname. [caption id="attachment_189726" align="aligncenter" width="550" caption="Suriname di utara Brasil, 9700 mil laut dari pulau Jawa (sumber: googlemaps)"]
[/caption] Sejak gelombang emigrasi tersebut, penduduk asal Jawa di Suriname telah beranak pinak. Berdasarkan sensus, jumlah penduduk keturunan Jawa di Suriname telah tercatat hampir mencapai 72 ribu jiwa di tahun 2004: nyaris mencapai 15% dari total jumlah penduduk negara tersebut yang berjumlah tidak lebih dari setengah juta jiwa. Sangat menarik untuk menyimak bagaimana komunitas masyarakat Suriname keturunan Jawa tersebut melestarikan 'budaya Jawa'. Sekedar ilustrasi, dalam penggunaan nama misalnya, jabatan Mendagri kabinet Suriname saat ini dipegang oleh Bpk Soewarto Moestadja. Sementara itu jabatan Menteri perkebunan dan perikanan dipegang oleh Bpk Hendrik Setrowidjojo. Walau Suriname menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa resmi, penggunaan bahasa Jawa juga cukup tinggi secara statistik (2004): tercatat lebih dari 5 persen dari seluruh penduduk Suriname masih menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa keluarga dalam percakapan sehari-hari. Penggunaan nama dan pemakaian bahasa Jawa hanyalah contoh kecil dari pelestarian budaya Jawa. Berbagai jenis kegiatan seni tradisionil seperti wayang kulit, klenengan, gamelan, maupun berbagai upacara adat seperti perkawinan masih sepenuhnya didasarkan pada adat Jawa.
[caption id="" align="aligncenter" width="336" caption="Wayang Kulit di Suriname (sumber: wikimedia)"] [/caption]
Tidak hanya budaya tradisionil, budaya pop Jawa à la Suriname juga berkembang dengan subur. Musik campur sari, misalnya memiliki banyak peminat. Maestro musik campur sari asal Indonesia, Didi Kempot, sudah berulang kali mengadakan konser di Paramaribo (ibukota Suriname) dan artis penyanyi lokal pun mulai bermunculan.
Kembali ke warung Jawa... Apakah nasi rames yang dijual di warung Jawa-Suriname di Belanda menandakan bahwa Suriname telah meng-klaim nasi rames sebagai miliknya? Dengan kata lain, apakah hal ini berarti bahwa Suriname telah mengklaim budaya Indonesia? Bagi saya jawabannya adalah: tidak. Budaya selalu terkait dengan etnis tertentu. Penyebaran suatu etnis ke segala pelosok dunia yang membawa kebudayaan yang terkait dengannya, membuat pengaitan antara budaya dan negara menjadi hal yang sulit. Nasi rames misalnya, negara mana yang hari gini dapat mengklaim atau mematenkan asal masakan tersebut? Indonesiakah? Surinamekah? Atau Belanda? Kata "etnis" sendiri semakin hari semakin sulit didefinisikan. Pembauran atau percampuran antar etnis yang terjadi lewat arus migrasi dan perkawinan membuat pendefinisian kata "etnis" menjadi hal yang pelik dan membuat jidat para ahli antropologi hari ini semakin keriput. Dua hal ini membuat klaim negara tertentu atas budaya tertentu menjadi tidak relevan dan sungguh mengherankan jika hal itu masih terjadi di abad 21 ini. Ketimbang terlibat dalam adu argumen dalam hal klaim-meng-klaim budaya adalah lebih indah untuk menikmati sendiri budaya itu, seperti halnya menikmati sepiring nasi rames atau mendengarkan musik campur sari yang tenar baik di Paramaribo di Suriname maupun di Semarang di Indonesia. Musik latar: Angin Paramaribo (Didi Kempot) Tulisan ini disemangati dan dikipasi oleh Coplaque Yo Band
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H