Lihat ke Halaman Asli

Jepe Jepe

TERVERIFIKASI

kothak kathik gathuk

Senin Sore: Mau Mati!

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kakak kandung Opa yang namanya Opa Minggus dulu adalah serdadu KNIL yang ditempatkan di Meester Cornelis di Batavia (sekarang Jatinegara, Jakarta Timur).

Almarhum Papa yang veteran perang di Timor-Timur pernah bercerita bagaimana Omnya yaitu Opa Minggus “gugur” dalam suatu kontak senjata melawan satu regu TNI di Matraman:

Opa Minggus hanya bertiga saat jipnya dihadang satu regu TNI dekat jembatan hitam. Si pemimpin regu TNI kasi dorang peringatan: “Mau menyerah atau mau mati?”

Opa Minggus jawab, “Mau mati!” sambil lalu lepaskan tembakan.

Kalah jumlah, Opa Minggus dan dua teman KNIL-nya mati saat itu juga diberondong peluru TNI.

Tidak ada kata ‘malu’ bagi almarhum Papa yang bekas penerjun TNI-AU untuk memiliki seorang Om yang ‘gugur’ untuk KNIL.

Bagi Papa, Opa Minggus adalah pahlawan karena keberaniannya dan keteguhannya akan nilai yang dipercayainya benar.

Kekaguman itu pula yang membawa Papa memberi nama kakak sama seperti Omnya: Dominggus.

***

Senin malam 22.30 WIB, 9 Maret 1998

Mau mati!

Itu juga pilihanku saat ini.

Klewang sudah kuasah tajam dan sekarang kubungkus dengan koran.

Tinggal nyali saja yang sedang kukumpulkan sebelum kudatangi rumah Tinus, si bandar putauw di ujung jalan.

Bagiku, hanya si anjing Tinus dan teman-temannya saja yang tahu di mana Kak Minggus berada.

Dua minggu sudah Kak Minggus tidak pulang.

Tadi sore sudah kuantar Mama yang sakit agar menginap saja di rumah tante Ela di Bekasi. Terlalu sepi dan terlalu berat untuk Mama melewati waktunya di rumah saja bersamaku menantikan Kak Minggus.

Ya Kak Minggus yang selalu dinanti Mama.

Dia si kunang-kunang Mama yang sejak ketagihan putauw sudah berubah menjadi keparat.

Bagiku kak Minggus adalah keparat.

Keparat,… bangsat yang sayangnya sungguh dan tetap kurindukan, kucintai.

***

23.05

Gemetar.

Kubuka, kubungkus lagi klewang di tanganku dengan kertas koran.

Belum pernah kurasakan setakut ini.

Tapi sudah bulat pilihanku seperti pilihan Opa Minggus dulu.. mau mati.

Akan kubuktikan bahwa aku si anak Mama pun bisa bunuh orang.

Dan tidak takut dibunuh orang.

***

23.15

Kudorong pagar rumah Tinus dengan klewang yang terbungkus koran.

Ada lampu dari arah kamar belakang yang pintunya kutahu bisa dimasuki dari halaman samping.

Kupercepat langkah ke arah kamar belakang agar lebih cepat dari degap jantungku.

***

“Kowe orang liat Kak Minggus?!”

Tinus, si bandar putauw anjing bangsat terduduk di sofa kamar.

Matanya melotot menatapku..

Suaranya parau..

“Nggak lihat Ben… Aku nggak tahu Minggus di mana…”

“Jangan ngibul lu!!!”

“Bener Ben.. aku nggak tahu..”

Di sudut kamar ada si Totem yang badannya dua kali badanku. Dia melihatku seperti melihat setan.

“aku juga nggak tahu Ben.. sumpah aku nggak tahu…”

Berbalik badan.

Kutendang sekeras-kerasnya radio tape di lantai di kamar itu.

Kutinggalkan dua bandar kekar bertato itu sambil kusumpahi,

“Anjing!!”

***

Di balik pintu pagar di rumah.

Belum pernah tubuhku gemetar sehebat ini.

Kujatuhkan klewang yang masih berbungkus koran.

Ada sesuatu yang melesak di dalam dada.

Merosot badanku ke lantai.

Menangis ku tersedu.

Sejadi-jadinya.

-------

cerita sebelumnya: Minggu Sore: Kunang-kunang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline