Lihat ke Halaman Asli

Untuk Pelaku Transportasi Online: Kesenjangan dari Pandangan Saya

Diperbarui: 24 Maret 2016   03:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Untuk Pelaku Transportasi Online"][/caption]Teman saya ini usianya delapan tahunan di atas saya. Dari kecil sudah khatam sisi gelap kehidupan jalanan; sex, narkoba sampai mafia, semua sudah dicicipi. Mulai dari digebuki sipir, sampai dioral banci, semua pernah diceritakannya. Kalau dilihat dari kumpulan teman-temannya, kisah-kisahnya memang bukan omong kosong belaka. Tapi itu hanya masa lalunya. Terakhir saya bertemu, dia bilang, dia bekerja menjadi staf kelurahan.

Adik dari teman saya ini belum lama lulus SD. Sekarang usianya belasan, SMP lah kira-kira.  Sifat liarnya di masa lalu tersebut turun ke adiknya yang sekarang menjadi supir angkot. Bocah SMP yang tidak sekolah itu sering menyetir angkotnya sambil menghisap sebatang rokok hasil jerih payahnya sendiri. Ironisnya, jurusan angkot yang ia kemudikan adalah angkot yang melewati perumahannya sendiri; perumahan saya juga. Ironis sekali memang. Di tengah perumahan yang dibilang cukup nyaman, tapi ada seorang bocah yang harus bertaruh nasib mengejar setoran dari pagi hingga malam. Rokok yang menyala di tengah perjalanannya mengangkut penumpang itu, mungkin, hal yang biasa. 

Tapi bagaimana dengan sisi lain kehidupan jalanan? Anggur merah, Judi, Prostitusi, bukan hal yang awam bagi mereka (dan kita semua pastinya). Kakaknya, Keluarganya, Saya dan kalian yang membaca, pasti tak ingin punya adik yang putus sekolah dan melakukan hal di luar kewajaran norma sosial. Sedih memang, melihat kerabat tak mampu sekolah seperti tersebut. Tapi saya bangga, mereka bukan tipikal penadah orang tua, apalagi korporat.

Jika adik dari teman saya memilih menjadi supir angkot atas inisiatif dan demi menopang ekonomi keluarganya, tak jauh bedanya dengan teman saya yang satu ini. Situasi dan kondisi ekonomi keluarganya tak jauh berbeda. Pilihan jalan hidupnya menurun dari ayahnya, yang lebih dulu, menjadi supir angkot. Tapi pilihan anaknya bukan pilihan yang diterima mentah-mentah. Pernah saya bertemu dengan anaknya, yang bekerja di suatu percetakan. Cukup terlihat betapa gagapnya teman saya itu di depan mesin-mesin modern percetakan. 

Dan tak lama, ia balik narik lagi. Pernah sesekali, ibu saya menumpang angkutan yang dikendarai oleh ayahnya tersebut. Ibu saya panik, karena mobil dibawa dengan kecepatan tak wajar dan hampir kebablasan dari arah tujuan. Saya tidak heran. Karena, jika dilihat dari kehidupannya bermasyarakat, mungkin saat itu, beliau sedang ada masalah pribadi. Tiap malam, di pos dekat rumah saya, kerjaannya main kartu. Belum lagi tampang antagonisnya. Di kehidupannya yang jauh dari nyaman, sudah pasti banyak beban. Mulai dari hutang, sampai kejar setoran.

Selain supir angkot, saya juga punya teman seorang adik – yang kakaknya – memutuskan untuk menjadi supir taksi. Mereka berdua, saudara satu ayah – lain ibu. Meskipun begitu, sang kakak sayang sekali kepada si adik. Hal ini terbukti, dari pendapatannya yang pas-pasan, beliau sering sekali menjajani adiknya. Membelikan peralatan sekolah, sampai jajan-jajan kepuasan. Lagi-lagi, jalan hidup pilihannya dikarenakan pendidikan yang pas-pasan dan masa lalunya yang kelam. Kelam memang. Sang kakak yang satu ini, tak jauh berbeda masa lalunya dengan teman saya, kakak dari supir angkot yang saya sebut di awal. Tak perlu diceritakan lagi sepertinya.

Pengalaman saya dengan taksi tidak banyak. Seumur hidup, saya hanya sekali naik taksi. Hanya dengan keluarga sewaktu kecil, yang waktu itu turun di rumah saudara, di daerah Pondok Labu. Waktu itu, sekeluarga berasa jadi orang kaya sehari. Orang tua saya harap-harap cemas, pantau argo, rogoh kantong.

Jika argo taksi siap mencekik penumpangnya, lain halnya dengan angkot. Pengalaman saya dengan angkutan merupakan nilai sejarah tersendiri. SMP yang dulunya dekat dengan rumah, seketika menjadi jauh dan perlu ditempuh dengan kendaraan. Romansa saat menepi di warung pinggiran bersama teman, sambil ngudut ngumpet-ngumpet (takut ketahuan guru), di saat hujan turun; ataupun turun di dekat sekolah lama, berjabat tangan dengan kawan lama merupakan hal yang berharga. Ongkos hanya dua ribu rupiah, bagi saya terlalu murah, jika dibanding kenangannya.  Dan perlu diingat, di angkot, kami dididik tidak mengeluh. Tidak perlu menunduk di depan gadet, foto kemacetan dan posting di sosmed. Cukup duduk tenang, senyum di depan setiap penumpang, lalu keluar dengan menghirup udara segar.

Jika sekarang masyarakat mengutuk supir metromini yang ugal-ugalan, saya punya memori tersendiri dengan Bis Kota yang sekarang sudah tutup trayeknya. Sebut saja P21. Sewaktu SMP, sebelum “dipindahkan”, saya sempat naik dan icip-icip jalanan selatan. Sedari kecil, minat saya terhadap seni sudah tinggi. Sedari SD suka menggambar ulang foto Pahlawan. Tak ketinggalan juga graffiti, yang disebabkan pengaruh oleh teman dan lingkungan. Coret-coret bis kota, bagi yang pernah nakal, sepertinya merasakan. Di dalam bis tersebut, saya kena tegur oleh kenek. Seorang bapak, yang sepertinya juga punya anak yang masih sekolah. Terlihat dari rautnya yang prihatin menegur kami (saya dan kawan-kawan). Humanisme menarik – di tengah kejamnya kota – yang tak akan saya lupakan.

Suatu hari di tempat makan milik kawan yang baru buka, hadir teman dari kawan saya, seorang pengendara ojek online. Di sana cukup banyak yang baru saling kenal. Antara satu dan lainnya mulai memahami masing-masing. Tapi dengan pengendara yang sedang menunggu penumpang ini, ia sangat sibuk sendiri. Menunduk di depan gadget mewah, mengeluh, dan santai menikmati rokok dan secangkir kopi. Postur badannya gemuk, potongan rambut gondrong ala anak SMA Pangudi Luhur. 

Namun saya tidak sempat kenal, karena memang ia tak membuka diri untuk perlu dikenali. Dilihat dari gelagat dan postur tubuhnya, sepertinya kehidupannya berkecukupan dan nyaman. Memang kenyataanya juga, bahwa transportasi online, membuka pintu selebar-lebarnya kepada siapapun. Membuka persaingan sebebas-bebasnya. Banyak mahasiswa berkecukupan yang lebih pilih narik ojek, dibanding menekuni bidang keahliannya. Sungguh sangat disayangkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline