[Sumber Gambar]
Suatu hari saya diminta kedua Orang Tua saya untuk mengantar Kakak saya – melamar pekerjaan – ke Pusat Perkantoran di Gandaria. Awalnya saya malas dan enggan untuk mengantarnya, namun karena ini saya anggap “Jihad Keluarga”, akhirnya saya putuskan untuk mengantarnya; dengan keadaan kurang tidur dan belum sarapan. Dari rumah, yang saya tuju hanya Toko Buku berinisial GM (sebut saja Gramedia). Bukan Goenawan Mohamad ya, Bang; yang Liberalis itu. Seseorang liberal, yang bagi Bang Tere, siapapun dia – tak ada kontribusinya – bagi kemerdekaan.
Sesampainya di Gramedia, dengan keadaan lapar dan setengah limbung, saya bergegas menelusuri tiap rak dan meja Toko Buku tersebut. Dari novel-novel terbaru hingga yang sudah difilmkan, sepintas hanya saya lihat. Saya tak pernah bosan melihat sinopsis novel Pramoedya, walau berulang kali, namun tak sempat menamatkan isinya. Di depan mata terlihat novel Bang Tere dipajang dengan berbagai judul, layaknya lukisan seorang maestro. Saya coba beranikan diri membaca novel “Pulang”.
Satu bab saya tamatkan dengan berdiri dan dalam kondisi lapar; kepala pusing dan kaki gemetar. Bagi saya, ini merupakan perkenalan penuh pengorbanan dan apresiasi tersendiri untuk Bang Tere. Belum pernah saya – se-berjuang ini – demi mengenali seorang penulis, bahkan sekaliber Tan Malaka dan Sutan Sjahrir sekalipun; yang bagi Bang Tere, Sosialis pun Komunis – tak ada kontribusinya – bagi kemerdekaan.
Oh iya, Bang. Dari awal kita belum berkenalan. Sepertinya, Bang Tere tidak perlu lagi memperkenalkan diri. Abang sudah terkenal dan tersohor. Abang sudah menjadi Perwira Menengah dalam bidang sastra. Jika sastrawan angkatan Cak Nun, Sujiwo Tejo dan kawan sebayanya – sudah pergi ke hadirat-NYA; Bang Tere akan jadi Perwira Tinggi. Sementara saya sekarang ini, masih Calon “Antah-Berantah”; belum Secaba bahkan Calon Siswa. Saya masih mencari celah untuk masuk dunia sastra. Saya masih mencari “orang dalam”. Cari “orang dalam” tak dapat, orang seberang pun tidak mengapa lah. Orang seberang tersebut saya dekati; saya jadikan inspirasi dan pengaruh.
Niat hati ingin sekali memasukkan Bang Tere ke dalam daftar – inspirasi dan pengaruh – dalam sastrawan favorit saya. Ingin saya sejajarkan beberapa nomor di bawah tiga tokoh kaliber dengan sisinya masing-masing, diantaranya: Pramoedya di sebelah kiri, Goenawan Mohamad di tengah, ataupun Mochtar Lubis di kanan. Tapi saya bingung mau memasukkan abang di posisi mana. Kehendak hati saya berubah seketika – saat melihat pernyataan Bang Tere yang mengajak pembaca menjadi orang yang eksklusif; yang menutup mata terhadap sisi humanisme Ideologi Impor.
Terus terang Bang, saya tidak sedikitpun tersinggung terhadap pernyataan abang – perihal tokoh Ideologi Impor – yang bagi abang, tak ada kontribusinya bagi kemerdekaan. Di zaman setengah feodal-setengah kolonial seperti sekarang ini, ideologi bagi saya, adalah apa yang kita lakukan. Seseorang bisa saja mendaulat dirinya sebagai Khalifah di zaman modern, di siang yang terik, namun di malam hari pergi mencari mucikari. Seseorang tersebut juga bisa membaiat dirinya sebagai Muslimin Sejati yang khatam Perjuangan Ulama, layaknya yang Bang Tere ingin, namun abai terhadap Begal-Begal yang dibakar tengah malam; yang dikencingi dan diberi tepuk tangan. Mungkin seseorang seperti tersebut, enggan mengilhami – humanisme dalam Ideologi Impor – seperti yang abang maksud; serta rajin mengutuknya, sembari menikmati Majalah Bobo; se-nikmat yang abang rasakan dulu.
Mungkin Bang Tere, juga segenap pembaca tulisan ini, tak bakal percaya jika salah satu lagu Burgerkill berjudul “Tiga Titik Hitam” jadi salah satu lagu religi favorit saya. Mendengarkan lagu yang hampir sebagian liriknya dinyanyikan oleh Fadli Padi tersebut, membuat saya merasa bagaikan Nietzsche yang bimbang di tengah egonya; yang rindu akan surau yang dulu sering disinggahinya. Dalam dunia musik, saya dapatkan sisi humanisme dalam genre musik Impor – yang oleh pihak moralis, genre ini dianggap Iblis.
Bahkan seorang Ibu kandung dari Presiden kita yang sekarang, sempat merasakan apa yang Ibu saya juga rasakan; beliau (kedua Ibu tersebut) menangis dan khawatir jika anaknya jadi keblinger. Ibu saya marah ketika pakaian sehari-hari saya berwarna hitam semua. Mungkin beliau kira saya akan menjadi seperti Pasukan Pol-Pot di Kamboja; doktrin Orba memang Mantab.
Terus terang, Bang. Saya muak terhadap doktrin Orba yang membuat angkatan penerusnya menjadi apolitis dan ahistoris. Tapi saya juga jijik terhadap mereka yang berteriak kiri, mentolerir Stalinisme dan Revolusi Budaya Mao Zedong yang memakan jutaan jiwa; mereka yang memimpikan Khilafah di negeri Pancasila; pun mereka yang liberal yang menyingkirkan paham Agama dan membuangnya ke tempat sampah. Saya merasakan yang abang rasakan dan berharap Angkatan Reformasi tidak lupa kearifan lokalnya.