Lihat ke Halaman Asli

Arogansi dan Praduga Tak Bersalah

Diperbarui: 19 Januari 2016   11:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

         [Ibunda Rene Conrad menunjuk Kapolri Awaluddin Djamin, demo mahasiswa 1978. Sumber: cirro-cumular.rssing.com]

Kemarin seorang Wakil Rakyat yang terhormat marah-marah, ketika Brimob berdiri tegap – menenteng senapan – merangsak masuk gedung Dewan saat mengawal penyidik KPK. Tujuh belas tahun lalu, mereka para Pemuda terdidik – penerus bangsa – berlarian, tersungkur dan menangis meratap peluru yang menembus kaca kampus dan sekujur tubuh kawan-kawannya. Mereka yang berlarian bukanlah penjahat. Mereka juga tak butuh pembelaan ataupun praduga tak bersalah, karena mereka bukan tersangka. Apa yang mereka perjuangkan adalah apa yang kita nikmati hari ini; demokrasi, yang katanya, kebablasan.

Sipon, Istri Wiji Thukul itu tetap tenang menghadapi Aparat Kepolisian ataupun Militer yang masuk ke rumahnya dengan sepatu lars dan senjata di pinggang. Bukan Siponlah yang mereka cari, tapi Wiji, suaminya yang dibenci Penguasa karena kata-katanya yang membuat mereka gelisah. Wiji Thukul juga tak perlu diberi praduga tak bersalah, karena beliau memang bukan seorang kriminal. Kata-kata dalam puisinya pun bukan termasuk “hate speech”. Sajak-sajaknya menyadarkan rakyat tentang ilusi kemakmuran suatu rezim yang tak peduli kemanusiaan. Namun Wiji tetap hilang, meninggalkan catatan hitam sejarah dan dalil mereka yang “hanya menjalankan tugas”.

Jika Sipon tetap tenang menghadapi Aparat yang ingin menangkap Suaminya, Ibunda Rene Conrad justru sebaliknya. Ia geram saat bertemu dengan Kapolri Awaluddin Djamin pada saat demonstrasi mahasiswa menolak kepemimpinan kembali Suharto tahun 1978. Padahal Kapolri tersebut bukanlah seseorang yang harus bertanggung jawab terhadap kejadian penembakan anaknya. Rene Conrad adalah seorang mahasiswa yang tertembak saat sedang mengendarai motor gedenya – oleh siswa Kepolisian – saat insiden bentrokan Mahasiswa dengan Siswa Kepolisian – seusai pertandingan sepakbola – di kampus ITB, 1970. Namun Bapak Kapolri tersebut tetap tenang. Beliau tak sedikit pun memerintah anak buahnya untuk meringkus seorang Ibu tersebut – yang memakinya – di depan umum. Selain asas praduga tak bersalah, sepertinya Pak Awaluddin Djamin mengerti jika Ibunda Rene Conrad hanya melampiaskan sakit hatinya, bukan melawan aparat.

Setiap orang bisa saja berbuat arogan. Arogansi terkadang dilakukan di luar kesadaran. Pasukan Brimob yang membawa senjata mendampingi penyidik KPK belumlah bisa dikatakan berbuat arogan. Hal tersebut barulah “pameran kekuatan”. Seperti halnya pawai Harley Davidson yang memamerkan kegagahan dan kekayaan mereka, barulah mereka bisa disebut arogan jika melanggar aturan lalulintas dan merasa diistemawakan.

Asas Praduga Tak Bersalah bukan hanya untuk mereka yang adigung, adiguna, adikuasa. Semestinya asas Praduga Tak Bersalah diberikan kepada segenap tumpah darah. Praduga Tak Bersalah juga harus hadir di jalanan, saat seorang maling dihakimi massa, saat seorang begal dibakar warga. Namun kenyataan berkata lain. Alat Negara berdalil hanya menjalankan tugas ketika terseret kasus Pelanggaran HAM, Penguasa merengek minta asas Praduga Tak Bersalahnya, padahal bukti sudah ada. Jika seorang dewan yang memarahi Penyidik KPK tersebut tidak bersalah, kenapa mesti panik dan marah? Entahlah, mungkin beliau lebih “mengerti” hukum, dan kita (rakyatnya) hanya warga negara yang “buta hukum” dan rajin mengkritik; di balik demokrasi, yang katanya, kebablasan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline