Lihat ke Halaman Asli

Ahok: "Ya Sudahlah, Namanya Mau Jadi Gubernur"

Diperbarui: 14 Januari 2017   22:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada era Orde Baru, bicara politik itu tabu, namun sekarang begitu bebasnya menyatakan pendapat dan mengkritik pejabat negara atau Presiden sekalipun. Ahok sebagai Gubernur yang boleh disebut warisan Jokowi dan Djarot menjadi wakil Gubernur karena faktor "lucky" dipilih oleh politisi, kali ini harus mampu meyakinkan rakyat agar memilihnya secara langsung.

Debat yang semula sebagai pengenalan misi dan visi para kandidat jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI yang merupakan  wilayah terpadat penduduknya di Indonesia ini, sedikit melenceng menjadi arena saling sindir bahkan mengarah pada penilaian karakter seperti ucapan " tidak nyambung" yang konotasinya tidak menguasai ilmunya.

Terlepas diatur atau tidaknya dan siapa yang memulai, debat itu menjadi ajang penyampaian prrestasi Ahok yang selama ini menjadi bahan pencitraan jauh sebelum masa kampanye yang terjadi dimedia terutama di media sosial.   Tak pelak lagi, moment tersebut seperti sudah ditunggu paslon pesaing Ahok yang langsung mengkritisi apa yang selama ini diklaim sebagai prestasi yang luar biasa oleh para "penggemar" Ahok.

Debat menjadi seolah mengadili prestasi Ahok sehingga Ahokpun harus mengeluarkan jurus ngeles tak melakukan penggusuran melainkan merelokasi.  Debat pertama mungkin menjadi pengalaman berharga, publik ingin mengetahui visi dan misi para paslon, bukan pmer keberhasilan yang justru berubah menjadi ajang saling menjatuhkan.

Sewaktu menjadi tentara, sewaktu menjadi Gubernur, sewaktu menjadi menteri, mestinya hal semacam ini tak perlu mengemuka sebab  debat ini bukan arena adu pengalaman atau pencarian bakat kerja, karena sebelumnya parpol pengusung mestinya sudah melakukan semacam fit and propper test. 

Menghadapi "serangan" kedua Paslon kompetiternya setelah Ahok bercerita berpengalaman menjadi Anggota DPR RI, Bupati dan Gubernur, Ahok sempat bergumam " Ya sudahlah, namanya mau jadi Gubernur". Tak bisa disangkal, bahwa ketiga paslon tersebut semua ingin menjadi Gubernur termasuk juga Ahok yang ingin terpilih dalam pemilihan langsung oleh rakyat.

Kalau kita harus fair, siapaun yang berbuat, terdengar dan terlihat atau menjadi perhatian publik akan menjadi sasaran kritik atau celaan. Siapapun tidak ada yang sempurna, Ahok sering melontarkan ucapan yang sering menciptakan kegaduhan dan akhirnya menjadi masalah hukum.

Berbicara tentang kompetisi pemilihan jabatan kekuasaan, maka  tak terlepas dari kampanye dan ongkos. Logika sederhana, seseorang ingin mendapat amanah dari rakyat seperti jabatan Gubernur DKI harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Memang ada aturan penerimaan sumbangan yang berlaku, secara terang-terangan para kontestan mengaku mendapat sumbangan sekian puluh milyar sebaliknya rakyat dijanjikan kesejahteraan, dijanjikan modal bergulir, pelayanan gratis  dan lain sebagainya agar memilihnya. Tentunya, hal seperti ini sangat kontradiksi antara untuk meraih kekuasaan yang memerlukan biaya banyak sebaliknya menjajnjikan "uang" kepada rakyat.

Wakil rakyat ataupun Gubernur mekanisme pemilihannya sama yaitu dipilih langsung oleh rakyat, terpilih karena dikenal oleh rakyat melalui kampanye misalnya. Namun, sejak dilantik pada 1 Oktober 2014, sudah tujuh dari 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) periode 2014-2019 ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan sangkaan menerima suap. Sedangkan untuk kurun 5 tahun,Komisi Pemberantasan (KPK), telah mengungkap adanya 18 gubernur dan 343 bupati/wali kota yang terjerat kasus korupsi. Kasus korupsi yang menjerat gubernur dan berujung penjara adalah gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho dan Gubernur Riau, Annas Maamun.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa begitu banyak kepala daerah yang terlibat korupsi ? 

"Ya sudahlah, namanya mau jadi Gubernur" sebagaimana yang diucapkan oleh Ahok, menyitir data KPK tersebut, menjadi kepala daerah memang memiliki peluang korupsi yang cukup besar. Tidaklah mengherankan, untuk menjadi  wakil rakyat atau kepala daerah berbagai cara digunakan untuk meraih jabatan2 sekalipun membutuhkan biaya yang sangat besar. Kalah bersaing berarti kerugian diderita, sebaliknya meraih kemenangan menjadi garansi pengembalian investasi politik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline