Anas Urbaningrum mengaku kecewa atas putusan delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Kekecewaan Anas lantaran hakim dalam putusannya menyampingkan fakta-fakta persidangan. Menurut Anas, putusan itu telah meremehkan keadilan. Dia merasa sedih karena persidangan yang dinilainya terhormat sudah diremehkan.
Namun tidak demikian dengan pendapat majelis hakim, Anas dinyatakan bersalah. Kesalahan Anas karena menerima gratifikasi Pemilik sekaligus pendiri lembaga survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, terbukti memberikan hadiah atau janji pada Anas Urbaningrum. Hal itu terungkap dalam pesidangan putusan Anas di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dalam memaparkan fakta persidangan, Anas menerima hadiah dari LSI dalam bentuk survei. Hal itu dilakukan, untuk mendongkrak nama Anas yang tengah mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Dengan terbuktinya peneriman itu, hakim menilai sudah sepatutnya Anas dihukum dengan perbuatannya. Sebab, adalah hal yang setimpal dengan perbuatan terdakwa selaku penyelenggara negara menerima gratifikasi.
Bagaimana dengan LSI yang ikut mendongkrak pupularitas Jokowi untuk mencalonkan diri sebagai Presiden ? Kalau ada saksi yang menyatakan LSI dijanjikan mendapat pekerjaan, mengacu pada pendapat hakim maka Jokowi dapat dipersalahkan seperti Anas.Namun sebaliknya jika LSI dibayar, imbal baliknya LSI memiliki tugas mendongkrak polpularitas Jokowi sesuai pesanan.
Lalu mengapa lembaga survey semacam LSI keberatan disebut lembaga survey bayaran ? Padahal kalau gratis merupakan perbuatan yang melawan hukum seperti yang disangkakan kepada Anas dan mestinya Denny JA ditangkap KPK sebagai pemberi suap. Apakah Denny JA akan ditangkap KPK sebagai pemberi suap ?. Tentunya tidak, karena LSI hanya dipakai sebagai dalil hukum untuk memenjarakan Anas sebab hukum tidak dapat membuktikan asal usul secara pasti kekayaan Anas kecuali dari kesaksian Nazaruddin dan yang lainnya.
Logika hukum memang sulit dimengerti oleh awam,apalagi hukum itu masih merupakan warisan kolonial yang lebih bernuansa kekuasaan ketimbang keadilan. Namun, sebaliknya hukum itu sesungguhnya akan lebih fair jika diberlakukan pembuktian terbalik. Dalam kasus seperti Anas ini,mau tidak mau hakim akan lebih mempercayai kesaksian ketimbang terdakwa. Inilah yang terjadi pada diri Anas yang merasa tidak diperlakukan secara adil, berbeda kalau Anas mampu mebuktikan asal usul hartanya.
Namun yang menarik disini menyangkut keberadaan lembaga survey politik, menjadi voluntary worker akan terkena pasal peyuapan,dibayar akan menjadi tidak netral. Maka terkuak, Aseng atau siapapun dapat menjadi presiden RI kalau dia mampu membayar lembaga survey untuk mendongkrak polpularitasnya. Mungkin inilah salah satu yang mendorong dilahirkannya UU Pilkada karena siapapun dapat dicreate menjadi populer asal punya modal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H