Pak Aku Lebih Suka Mati
Sepasang suami istri itu sudah terbangun bersama subuh yang selalu setia menyelimuti mereka dengan hawa dingin pada sebuah kontrakan sederhana di sebuah kota yang cukup padat . "Kang kontrakan kita sudah habis bulan ini?" Kata Marni sambil membenarkan selimut anak gadisnya Risni yang terbaring pulas pada lantai yang beralaskan tikar. " Ya mudah-mudahan hari ini bapak dapat tarikan banyak mak." Kata Karto pada istrinya. " Moga-moga juga Kang hari ini jualan jamu gendongku laku " kata Marni menambahi harapan suaminya.
"Saya mau keluar dulu siapa tahu jam gini di pasar sudah ramai", Kata Karto sambil menggapai topi lusuhnya yang di gantung di dinding papan kontrakan berlapiskan indah koran-koran bekas. "Minum dulu kopinya kang untuk isi perut biar anget." Karto segera mengambil gelas kopi pemberian istrinya lalu di sruputnya kopi itu berkali kali tanpa menghiraukan rasa panas menempel di mulutnya. Segera ia mengambil becaknya yang ditaruh di depan kontrakan sederhana lalu dikayuhnya menerobos perlahan menyusuri dinginnya lorong menuju pasar yang agak jauh dari kontrakan kumuhnya.
"To kamu di sebelah sana diurutan ke 35." Kata Ponirin teman narik becak Karto, "Yo Rin, lho kok sudah sampai sini Rin?, jam berapa kesini?" Jawab Ponirin, " Dah dari jam 4 pagi aku to, sambil antarkan istriku jual gethuk." Karto merasa lambat datangnya, ternyata ia dapat urutan ke 35, hatinya merasa gundah sebab harus nunggu giliran ke 35 dari teman-temannya. Ada sesekali temannya dapat tarikan itu membuat Karto senang sebab semakin temannya dapat tarikan berarti dirinya juga akan cepat dapat tarikan.
Pagi itu pasar cukup ramai, di perempatan jalan itu ada ratusan tukang ojek dan tukang becak menunggu giliran narik .Di pinggir- pinggir jalan juga ada puluhan mobil keluaran baru dan bahkan ada mobil mewah terparkir rapi berjajar, sementara menunggu para istrinya belanja keperluan dapur mewah nan nikmatnya para suami memainkan HP nya yang keren. Sebagian dari mereka ada yang pergi ke restaurant untuk sekedar membunuh waktu dengan ngopi sambil berchattan ria.
Pemandangan itu membakar naluri dasar Karto untuk menghayal tentang kemewahan dan kenikmatan hidup , "Bagaimana ya rasanya jika aku jadi orang kaya? Bagaimana rasanya punya mobil mewah? Bagaimana rasanya jika setiap akhir pekan bisa mengajak istri dan anakku ke tempat tempat wisata?, Bagaiamana rasanya bisa membelikan anakku HP yang baru?" Hayalan Karto membumbung setinggi angkasa raya sehingga membuat dirinya tak merasakan dinginnya pagi yang menusuk kulitnya.
"Ngelamunin apa kamu to?, pagi pagi sombong mlompong rame dan cerah gini kamu nglamun?" Kata Wiryo tukang ojek teman seberang jalan. "Waduh! Wir, kaget aku, kemana selama ini kok lama gakk lihat kamu?" Tanya Karto yang sudah bubar lamunannya. "Aku ikut bertani sama kakakku yang di pinggiran kota ini," Kata Wiryo. "Waah boleh juga Wir, pingin aku ikut bertani kalo gitu?" "Ahhhh! Sama aja to, berkebun sayur juga gak ada hasil, harga pupuk dan pestisida juga melambung terus, sementara hasil panen pas dijual murah banget, mending ngojek, capek lho bertani tu!" Jawab Wiryo meyakinkan Karto. "Udah narik belum kamu Karto?" Tanya Wiryo. "Belum Wir ini baru sampai urutan ke 20, ku harus tunggu 14 orang lagi sementara ini udah mau siang ." Jawab Karto tampak kesal. "Aku juga belum narik perut udah kayak gunung merapi bunyinya ni." Kata Wiryo nambahi kesalnya Karto. "Yukk kita makan dan ngopi di warungnya bu Markem?" Ajak Wiryo "Gak Wir bon ku ngopi sama makan 3 kali blum ku bayar malu aku Wir!" "Yaudah aku ni juga mau bon dulu kok." Lajut Wiryo sambil bergegas meninggalkan Karto menuju warung Bu Markem.
Hari itu tampak terik banget seolah membuat dahaga dan rasa lapar Karto semakin menyiksa dirinya, ingin seolah dirinya pergi dari situasi bosan dan terpaksa itu, namun apa daya pendidikannya tak memadai yang bisa dilakukan hanyalah mempertaruhkan raganya sebagai penarik becak atau kerja serabutan seadanya demi mempertahankan hidup yang terus memperkosanya. Hatinya berkeluh kesah , saat itu tiba-tiba anaknya Risni menghampirinya.
"Pak, tadi mamak bilang saya disuruh minta uang untuk beli beras kalau mamak belum pulang." " Nanti ya nak bapak belum narik ni ." Jawab Karto terkaget dari lamunannya "Yaudah ku pulang" Jawab Risni yang segera berlari menuju lorong kontrakannya. Melihat anaknya datang untuk minta uang terasa kesedihannya kian tambah perih seperti disiram garam. Dari kejauhan seolah-olah saat itu ada pelanggan melambaikan tangan ke arah Karto untuk minta diantarkan pulang serta barang-barang beliannya. Segera Karto turun dari becaknya tanpa menghiraukan bahwa sebenarnya itu bukan gilirannya narik. Karena girangnya segera Karto melajukan becaknya cukup kencang dijalan yang ramai saat hampir tengah hari itu, oleh karena terbawa senang Karto sedikit hilang kendali sehingga becaknya menyerempet mobil baru yang lewat didepannya." Sreeet!! Becaknya menyerempet mobil itu. Segera pemilik mobil meminggirkan mobilnya, berhenti dan bergegas menuju Karto.
"Kurang ajar kau, lihat-lihat kalo mbecak!" Sambil mencengkeram krah baju Karto pemilik mobil itu membentak. "Jangan Pak tolong lepaskan" Pinta melas Karto. "Kau tau mobil itu mahal kau harus buat bagus yang lecet!" "Tolong lepaskan pak!" Pinta sekali lagi melas Karto. "Ganti atau kulaporkan kau!" "Tolong lepaskan pak!" lanjut Karto. "Jawab dulu buat bagus yang lecet atau kulaporkan kau!" Bentak pemlik mobil sambil masih mencengkeram Karto. Saat itu Karto tidak tau kenapa matanya menjadi gelap lalu berteriak, " Pak aku lebih suka mati daripada hidup!" Tangan berototnya melepaskan cengkeraman pemilik mobil itu dengan mudah lalu mendorong pemilik mobil itu sampai terhujung di pinggiran trotoar. Karto segera beranjak untuk menyerang. Teriakan Karto, "Pak aku lebih suka mati" terdengar keras oleh teman-temannya tukang becak dan ojek. Teman-temannya segera berhamburan merangsek mendekat sambil berteriak, "Aku lebih suka mati dari pada hidup!" Mereka dengan beringas mengerubuti pemilik mobil itu. Beruntung sesaat kejadian ada petugas patroli yang menyelamatkan pemilik mobil itu. Masih terdengar dengan keras, "Pak aku lebih suka mati"! Petugas segera melerai dan mengamankan pemilik mobil itu tapi Karto mau dibawa ke kantor. Semakin beringas teman-teman Karto berteriak ditambah teriknya matahari yang membakar hati mereka. "Bawa kami juga atau kami lebih suka mati!" Ratusan orang semakin beringas terhadap pemilik mobil dan para petugas. Pada akhir situasi yang mencekam tengah hari itu pemilik mobil mengajukan perdamaian. Perdamaian diterima oleh Karto dan teman-temannya.
Segera para tukang becak dan ojek itu meninggalkan tempat itu, tinggalah Karto pemilik mobil dan para petugas yang tersisa . Karto segera menuju letak dimana becaknya di parkir, sudah didapatinya di dalam becak gadis kecil duduk dengan sebuah keranjang jamu gendong. Dari kejauhan dilihat istrinya berdiri didepan lorong kontrakan tampak menutupi mulut dengan jarik yang digunakan untuk menggendong jamu dengan tatapan mengarah ke Karto seolah berkata, "Ayuuk kang pulang aku sudah bisa beli beras, jangan lawan mereka, kita tak akan sanggup , dunia kita kurang dari lebarnya daun kelor, tebalnya dunia kita hanya setebal jarikku ini, Ayuuuk pulang kita masakin anak kita dan kubuatkan kamu sayur nangka dan kopi kesukaanmu ."