Lihat ke Halaman Asli

Tolikara, Ujian Persaudaraan

Diperbarui: 19 Juli 2015   16:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedih juga dengan adanya kasus kekerasan agama yang terjadi di Tolikara, Papua beberapa saat yang lalu. Di Kanazawa, Jepang, kami pun tak hentinya berbincang tentang hal itu beberapa hari ini. Saya kira ini sekali lagi ujian atas keberagaman kita di republik ini. Sungguh sangat baik respon cepat pemerintah menghimbau umat agar tidak cepat terprovokasi. Demikian pula para tokoh nasional yang meminta kita mengedepankan “kepala dingin” dalam menyelesaikan konflik tersebut. Kapolda dan pangdam pun telah berkunjung kesana, memastikan keamanan dan keselamatan publik terjaga.

Kita pun harus memberikan apresiasi pada tokoh-tokoh umat kristiani yang secara terbuka telah meminta maaf atas kejadian yang terjadi di Tolikara, dan saya kira kejadian itu tidak mencerminkan sikap umat kristiani atau saudara-saudara kita di Papua secara keseluruhan. Toleransi di sebagian besar tempat di Papua sangatlah baik jika melihat pengakuan kawan-kawan muslim yang tinggal disana. Ada banyak dari mereka yang telah menetap di Papua begitu lama, turun termurun dan beranak pinak di tanah itu.

Saya selalu mengatakan pada kawan-kawan saya di media sosial yang hingga hari ini masih riuh dengan kasus ini untuk sedikit lebih sabar dan lebih bijak berkata-kata. Status-status provokatif yang cenderung menebar pemusuhan dan kebencian mungkin tidak elok untuk selalu dikedepankan. Bisa dipahami kemarahan dan sikap emosional beberapa orang terkait kejadian diatas. Namun ajakan jihad dan seruan membalas kekerasan itu dengan kekerasan yang sama  tidaklah pas, juga tidak pada tempatnya. Umat dan tokoh islam di Papua saja meminta setiap orang menahan diri, demikian juga ulamanya tapi mengapa banyak sekali dari kita yang tidak hidup dan tinggal disana yang demikian ngotot. Apalagi penegak hukum telah mulai bekerja. Bukanlah lebih baik upaya-upaya damai yang dikedepankan.

Memulai konflik atas dasar sentimen agama teramat mudah. Tak perlu hal-hal yang canggih, cukup dengan hal-hal yang kecil bahkan kadang sepele. Tapi efeknya bisa kita lihat pada konflik berdarah yang terjadi di Poso dan Ambon. Puluhan ribu orang kehilangan nyawa selama bertahun-tahun konflik itu terjadi. Banyak yang mati dengan cara kejam yang kadang tak bisa kita bayangkan. Ribuan orang lainnya mengungsi mencari selamat meninggalkan harta dan rumahnya, kota hancur menjadi puing-puing, peradaban hilang. Dalam konflik atas nama agama, tidak ada yang menang atau kalah, kedua pihak akan mengalami kehancuran dan kehilangan. Dan bagian terburuknya, kebencian dan dendam akan terus ada turun temurun. Tertanam begitu dalam. Siapa yang bisa melupakan begitu saja saat anggota keluarga dibantai di depan mata kita?

Saya kira setiap orang di republik ini tak akan mau kembali mengalami masa-masa kelam serupa itu. Untungnya di Indonesia kita bisa belajar saling memaafkan. Konflik Ambon dan Poso bisa juga didamaikan walau dengan harga teramat mahal. Saat telah begitu banyak korban dan kerusakan. Pasca deklarasi Malino ke-2 untuk mendamaikan Poso, saya ikut jadi relawan tim kesehatan ke kota itu. Saat itu saya mahasiswa kedokteran tingkat lima di salah satu kampus di Makassar. Kami datang  mengisi kekosongan rumah sakit dan puskesmas yang ditinggalkan karena konflik. Mendengar kisah-kisah orang setempat juga melihat foto-foto kekejaman konflik itu, sungguh mengerikan. Mereka pun trauma dan berharap tak ada lagi neraka seperti itu.

Belajar dari hal semacam itu, saya kira kita harus belajar bijak. Tidak lalu menambahkan bahan bakar kebencian dan permusuhan atas peristiwa kekerasan agama yang terjadi. Kalau kita mau jujur, sebagian besar agama di republik ini punya sisi kelamnya masing-masing dalam kekerasan agama. Dan sekali lagi dalam kasus Tolikara ini kita bisa melihat bagaimana negara kembali absen. Bukankah hal seperti itu bisa jauh-jauh hari diantisipasi, dimediasi karena telah ada surat pemberitahuan yang kontroversial itu sebelumnya. Mengapa pemda, polisi dan tentara tidak menyikapinya secara serius?

Hal yang sama juga terjadi dalam kekerasan agama di tempat lain yang melibatkan perusakan tempat ibadah dan pengusiran umat dengan keyakinan berbeda. Selain mesjid yang dibakar itu, tidak sedikit juga gereja, vihara yang dirusak. Orang dengan keyakinan berbeda seperti Ahmadiyah dan Syiah sampai saat ini masih berada dalam kamp pengungsian. Terlepas bahwa keyakinan mereka berbeda, mereka tetap juga warga negara negara Indonesia. Hak-hak sipil mereka harusnya dilindungi oleh negara. Sayangnya, negara lebih sering tidak hadir. Polisi kadang ada tapi mereka seolah tak punya daya memberikan perlindungan terhadap kebebasan warga negara menjalankan keyakinannya.

Harapan kita penyelesaian kekerasan agama di Tolikara bisa dilakukan secara komprehensif dalam koridor hukum. Mari percaya itikad baik bapak polisi kita disana. Saya kira ini pelajaran pahit bersama agar tidak terulang lagi di masa depan. Kita berharap rekonsiliasi damai bisa segera dilakukan dan tidak menimbulkan ekses sehingga semua bisa bersama kembali dalam keadaan rukun dan damai. Dan bagi kita yang berada diluar Papua, saya kira harus bersikap adil. Jika kita menuntut toleransi di Tolikara pada kaum minoritas muslim, maka di tempat-tempat dimana kita mayoritas eloknya kita memberi contoh yang sama dan lebih baik lagi. Dan sebagai muslim, saya kira ini telah kita lakukan di sebagai besar tempat di Indonesia. Selamat lebaran, mohon maaf lahir batin. Salam damai untuk semuanya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline