Beberapa hari lalu, saya menikmati liburan akhir pekan mengelilingi desa. Seperti desa pada umumnya, sepanjang perjalanan mata saya dihempas kesejukan pemandangan sawah-sawah dan pepohonan yang hijau diselimuti embun pagi.
Tiba-tiba, saya melewati area persawahan yang tak lagi seperti sawah. Ia tertutup oleh urukan tanah yang rata dan posisinya menjadi lebih tinggi dari biasanya. Sejumlah bendera umbul-umbul berdiri tegak mengitari area sawah yang bernasib malang itu.
"Kalau ada umbul-umbul begini, nggak bakal lama bakalan jadi perumahan," gumam saya dalam hati.
Tak dapat dimungkiri, memang dalam beberapa tahun terakhir, pertanian semakin memiriskan. Menurut data yang saya baca dari Badan Pusat Statistik (BPS), luas lahan baku sawah terus mengalami penurunan.
Pada tahun 2018 saja, luas baku sawah tinggal 7,1 juta hektare saja. Bila dibandingkan dengan tahun 2017, ada penurunan sebesar 0,65 juta hektare.
Penurunan lahan sawah ini tak ditampik oleh kementerian pertanian. Mereka juga menyebutkan, bahwa lahan sawah setiap tahunnya mengalami penyusutan hingga 650 ribu hektar.
Baru-baru ini (10/2021), BPS juga menyebut bahwa potensi luas lahan panen menyusut sebesar 0,14 juta hektare jika dibandingkan tahun sebelumnya.
Sejumlah data dan fakta tersebut sekilas menunjukkan betapa menyedihkannya lapangan usaha pertanian kita, khususnya pertanian tanaman pangan.
Sejalan dengan gencarnya pembangunan infrastruktur, lahan sawah tergusur oleh kerasnya beton. Belum lagi banyaknya lahan sawah yang tercaplok oleh pembangunan jalan dan perumahan sebagaimana sawah yang saya temui.
Di satu sisi, saya sendiri melihat adanya transformasi pada struktur kue ekonomi. Namun di sisi lain, saya melihat akan datangnya ancaman serius ketersediaan dan akses pangan nasional.