Badan Pusat Statistik (BPS) tak henti-hentinya berupaya untuk menghasilkan data yang bekualitas. Komitmen tersebut tidak hanya terucap secara lisan saja, tetapi memang terbukti pada saat melakukan pengumpulan data dari responden. Tidak hanya melakukan pengumpulan data, kinerja BPS saat ini secara mandiri melakukan penilaian kinerja. Dengan demikian kualitas BPS dapat terukur dengan jelas dari waktu ke waktu.
Sorotan publik terhadap BPS semakin meningkat. Mengingat kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini menetapkan data satu pintu, yaitu data yang dihasilkan oleh BPS. Kebijakan ini sekaligus menjadi tantangan berat bagi BPS, terutama bagaimana menghasilkan data-data yang berkualitas dan apa adanya.
Baru-baru ini, BPS melakukan pendataan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Tujuan Sakernas pada dasarnya adalah untuk menggambarkan kondisi angkatan kerja berdasarkan sampel yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dari hasil Sakernas ini pula, tingkat pengangguran nasional dapat ditunjukkan secara nyata.
Dalam pelaksanaan Sakernas ini, BPS lumrah mengadakan pelatihan petugas pencacah dan pengawas lapangan terlebih dulu. Tujuannya adalah untuk mencetak tenaga pencacah dan pengawas yang andal dan profesional, integritas dan amanah di dalam setiap menjalankan tugas lapangan. Komitmen tersebut tidak hanya buah bibir saja, tidak sedikit petugas pencacah dan pengawas survei dan sensus BPS bersusah payah dalam menjangkau responden. Demi sebuah data.
Selain turun mencacah ke lapangan, ada hal lain yang bisa ditelaah oleh BPS sebagai penyedia data, yaitu fenomena dan gambaran kondisi di lapangan. Seperti gambar tersebut, jalan yang sedemikian rusak dan berlumpur itu nyata adanya. Letaknya di daerah Lampung Barat, Kecamatan Suoh. Ternyata Indonesia yang katanya ikut Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) itu masih seperti ini ya, hehe… Meski kondisi jalan sedemikian aduhai, tetapi petugas BPS tetap tangguh dan pantang untuk menyerah, petugas BPS tetap melaksanakan tugas sepahit apapun itu. Tujuannya satu, data yang berkualitas dan apa adanya.
Meski selama ini, tudingan data BPS tidak benar dan tak sedikit yang mengatakan Cuma rekayasa. Nyatanya, dari segi konsep definisi dan kenyataan riil di lapangan, BPS bisa membuktikan bahwa data-data yang diperoleh bukanlah data di atas meja. Data yang diperoleh BPS telah memenuhi SOP pelaksanaan kegiatan statistik, baik dari segi perencanaan maupun dari segi pelaksanaan dan pelaporan.
Data itu mahal sebab untuk memunculkan satu data saja, BPS harus menerjang rintangan sedemikian rupa. Lantas, bagaimana mungkin bila data yang didapatkan hanya data abal-abal atau data pesanan?. BPS tak pula memproduksi data “pesanan” sesuai dengan pemberitaan stasiun televisi swasta yang tempo hari disiarkan secara nasional itu. BPS juga tidak menghitung data Asal Bapak Senang (ABS), bisa diamati semisal data inflasi saja, nyatanya naik dan turun, data pertumbuhan ekonomi juga naik dan turun. Data BPS terlihat independen, naik dan turun, tidak merepresentasikan sebuah rezim atau harga diri sebuah kekuasaan.
Sekali lagi data memang mahal, tapi akan lebih mahal pastinya kalau membangun negara ini tanpa data. Sebab, membangun tanpa data akan berakibat pada kerugian dan inefektivitas. Tanpa data, pemerintah bisa saja salah membangun sekolah di daerah rawa. Tanpa data, pemerintah bisa saja membangun sebuah kantor camat atau puskesmas di tengah hutan yang tidak terjangkau oleh masyarakat. Sebegini pentingnya data sebagai referensi untuk melakukan pembangunan.
Jadi jelaslah bahwa data itu sangat penting. Sebab, merusak data berarti merusak negara. Oleh karena itu, seluruh elemen masyarakat perlu mengawal berjalannya program-program statistik yang dilakukan oleh BPS supaya data yang dihasilkan bisa berkualitas serta bermanfaat bagi pembangunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H