Lihat ke Halaman Asli

Joko Ade Nursiyono

TERVERIFIKASI

Penulis 34 Buku

Cerpen ǀ Menjemput Pelita dalam Gulita

Diperbarui: 8 Oktober 2016   00:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelita dalam Gulita, sumber: dok.pri

“Terimakasih Mas,” ucapnya lembut. Entah sudah berapa kali ia menitikkan air mata. Mushaf masih dalam keadaan terbuka di atas meja kayu, beberapa lembar basah oleh tetesan air mata. Bidadari di hadapanku tak mampu menyembunyikan tangis bahagia. Meski masih terbata-bata, aku menyimak alunan huruf demi huruf yang terbaca.

“Sepertinya ada yang salah,” bisikku di telinga kanan. Bersama, duduk berhadapan. Jarak antar kepala kami begitu dekat. Seketika bacaan terhenti. Ia menatapku. Mengerutkan dahi penuh tanya.

Apa dia salah menangkap maksudku?” hatiku bertanya. Ia masih membisu. Mungkin menunggu penjelasanku.

“Kenapa berhenti?”

Bukannya menjawab, malah Ia menunduk malu.

“Kenapa Dik?” Ku ulangi dengan kalimat lain. Mungkin saja bisa membuatnya bicara.

Ia menggeleng,”Maaf Mas,” katanya dengan penuh penyesalan.

“Bukan itu,” jelasku.

“Lantas?” Ia menatapku sambil mengernyitkan dahi.

Sungguh tatapan bola mata yang memancar sangat meneduhkan. Aku mengusap lembut pipinya. Ada sisa tetesan air mata. Kemudian membenahi jilbabnya. Dikira sebuah kesalahan fatal.

Sudah berjam-jam lidah ini tiada mengecap makanan. Perut kian memberontak, tapi lapar memasung dirinya. Suara lantunan ayat suci Al-Quran bergema di ruang tamu. Jendela kaca menganga, rintik-rintik hujan melingsir. Aku belum cukup tangguh menyaksikan jasad ibu terbungkus kain kafan. Bagiku, cuma ada satu sosok orangtua. Iya, ibuku lah sosok itu. Ayah yang seharusnya hadir, justru lari dari tanggungjawab.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline