Sistem klasifikasi sosial memang tak dapat terlepas dalam kehidupan manusia. Dulu di saat Indonesia ini masih bernama Nusantara, sistem klasifikasi sosial dari masyarakat atas hingga ke bawah memiliki aturan dan nama-nama khusus yang disebut sistem kasta. Ada kasta brahmana hingga paling bawah kasta paria atau para budak. Tanpa sadar, ternyata sistem kasta sebenarnya juga terkandung dalam kehidupan sosial yang modern seperti saat ini, hanya saja sistem tersebut mentransformasikan dirinya dalam wujud atau bentuk yang lain. Misalnya, ada golongan ekonomi atas, golongan ekonomi menengah dan ekonomi bawah. Ini jika aturan pengklasifikasiannya berdasarkan penghasilan alias dari aspek ekonomi. Ada juga sistem pengolongan berdasarkan struktural atau fungsional, misalnya yang umumnya kita lihat dalam sebuah organisasi, terdapat ketua, wakil, sekretaris, bendahara, dan paling bawah adalah staf seksi dan lainnya.
Ini menunjukkan sistem kasta itu hingga kini masih ada, meskipun dalam bentuk lain, yang terselubung dalam organisasi. Sebab peran dan fungsinya juga relevan dan independen pada masing-masing status sosial atau jabatan. Atasan merupakan pemimpin bawahan, wakil dan perangkat sedikit di bawahnya adalah penasehat serta pengolah utama kebijakan, hingga bawahan berperan sebagai eksekutor kebijakan atau prajurit jika dalam peperangan. Ini secara alamiah sudah terbentuk dan membudaya sejak dulu. Oleh karenanya sah-sah saja meskipun saat ini terdapat masyarakat yang namanya Raden, Raden Ajeng, atau yang lain.
Setiap sistem pengkastaan pasti di dalamnya mengandung gaya kepemimpinan. Ada corak kepemimpinan yang serba cepat praktis dan dinamis, ada pula gaya kepemimpinan yang lemot, lelet, dan santai. Hal ini bisa kita amati pada setiap sistem kepemimpinan mulai dari tingkat rumah tangga, RT, RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota, provinsi, hingga dalam sistem kepemimpinan negara.
Ada fenomena menarik jika kita mencoba untuk mengamati tipe-tipe kepemimpinan, khususnya di Indonesia saat ini. Yaitu tipe kepemimpinan yang merakyat. Merakyat dalam arti seorang pemimpin adalah sebagai pelayan rakyat, seorang pemimpin adalah penerimaaspirasi rakyat. Dan biasanya para pemimpin akhir-akhir ini melakukannya dengan cara yang disebut blusukan. Metode blusukan memang sejak zaman Nubuwah (kenabian) hingga masa kekhilafahan sudah dipakai sebagai sifat dan watak kepemimpinan suatu organisasi (keluarga hingga negara). Hanya sedikit berbeda antara blusukan zaman sekarang dengan blusukan di zaman kenabian dan kekhalifahan.
Pada zaman kenabian dan kekhalifahan, kebanyakan pemimpin melakukan blusukan saat ini adalah pada waktu malam hari. Maknya, perilaku blusukan seorang pemimpin terhadap nasib rakyatnya adalah semata-mata karena urusannya pribadi, seorang pemimpin berblusukan bukan dalam ranah ia sebagai pemimpin tetapi sebagai pribadi (rakyat juga) dan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Blusukan zaman tersebut juga dilakukan oleh para pemimpin untuk mengetahui secara privat problematika rakyat atau kehendak rakyat dalam proses kepemimpinan sehingga memang benar-benar tidak ada pihak yang mengetahui, tiada pers yang bisa mengekspos kegiatan blusukan tersebut. Tiba-tiba masalah sudah selesai begitu saja, tanpa adanya perasaan keanehan pada diri rakyatnya. Intinya blusukan bukan pengejawantahan seorang sebagai pemimpin tetapi seorang sebagai sesama manusia (rakyat). Hal ini menunjukkan bahwa strata sosial atau sistem kasta kepemimpinan (kenegaraan) hanya berlaku dalam waktu tertentu, tetapi seorang pemimpin memiliki waktu tertentu yang seolah menghapus sistem struktural (kasta kepemimpinan) tersebut, yaitu menjadi rakyat ketika malam hari.
Sementara itu, blusukan di zaman sekarang sedikit berbeda. Bisa kita maklumi bahwa metode ini dicuatkan keluar publik dan pers sebagai ajang mempelopori bentuk gaya kepemimpinan yang baru yang lebih terhormat dan eksklusif dalam melayani rakyat. Tetapi dalam jangka panjang, justru kegiatan blusukan dalam menjadi fitnah yang semerbak pada diri rakyat, apalagi melalui pers yang semakin bebas mengeksposnya. Saat ini saja, beberapa atau mungkin banyak rakyat yang memiliki stereotip negatif terhadap perilaku pemimpin yang blusukan, mereka mengangap pemimpin yang mencari muka di depan publik atau pencitraan belaka yang tak sama ketika di belakang layar. Inilah yang mencokol ke permukaan belum lama ini. Meskipun ada pula yang blusukannya tidak terekspos media namun rakyat tetap acung jempol terhadap gaya kepemimpinan yang seperti itu. Selain itu, kegiatan blusukan itu sangat sering dilakukan oleh pemimpin dan dalam kondisi ia sebagai pemimpin, bukan ia sebagai manusia, bukan dalam kondisi ia sebagai rakyat juga. Hal ini dapat kita ilustrasikan kesalahan dalam jangka panjang nanti, misalkan kita berkehendak mau ke pasar membeli makan, nah, yang berjalan bukan kaki kita untuk ke pasar, dan bukan pula tangan kita untuk makan, tetapi kita berjalan dan untuk makan langsung menggunakan kepala kita. Artinya, blusukan dalam jangka panjang (jika dilakukan pada siang hari) seolah seorang pemimpin tidak ada bedanya secara struktural dengan bawahan yang mengakibatkan hilangnya peran dan fungsi struktural tersebut. Apa gunanya wakil ? apa gunanya staff ? apa gunanya tukang kebersihan ? kalau yang melakukan itu semua adalah ketuanya (kepalanya).
Oleh karena itu, dalam ulasan ini kita mampu menyimpulkan langkah terbaik dalam bentuk tips blusukan yang tidak hanya dilakukan oleh presiden hingga ketua organisasi terlarang saja, tetapi juga semua elemen keorganisasian agar mampu mengayomi rakyatnya atau bawahannya dengan pelayanan yang komprehensif dan terpadu untuk mencapai kesejahteraan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Tips itu adalah sebagai berikut :
1. Lakukan blusukan di malam hari, kalau bisa di waktu tengah malam, saat media masa tertidur pulas.
2. Lakukan blusukan hanya sebagai promosi sikap kepemimpinan saja kepada bawahan, dalam tempo tertentu sehingga tidak mengundang kecurigaan atau stereotip tertentu pada bawahan.
3. Berikanlah kesempatan bawahan Anda untuk melakukan seperti gaya kepemimpinan Anda sehingga memang dalam suatu organisasi hingga dalam aras kenegaraan, semua pihak memiliki gaya kepemimpinan yang selaras, tidak berat sebelah untuk melangkah bersama.
4. Jika blusukan Anda kurang mampu mengubah wajah suasana organisasi Anda, Anda bisa melanjutkannya penuh istiqomah (kontinuitas). Buat bawahan Anda merasa ibah dengan perilaku blusukan Anda, tetapi secara personal (Karena Anda lakukan pada malam hari).