[caption id="attachment_368326" align="aligncenter" width="600" caption="Foto: KOMPAS/DAHLIA IRAWATI"][/caption]
Aspek pendidikan sampai saat ini menjadi salah satu indikator penting bagi sebuah negara, khususnya Indonesia. Pendidikan yang baik, dengan pelaksanaan yang benar, dan berkualitas tentunya akan memberikan dampak yang luar biasa besarnya bagi pembangunan nasional. Pendidikan merupakan bahan baku yang mampu melahirkan generasi - generasi terdidik untuk mencapai pemberdayaan manusia yang optimal dan berkelanjutan. Tanpa pendidikan, tentu sebuah negara akan dikatakan kurang maju dan kurang berkembang. Oleh karena itu, perlunya membangun pendidikan menjadi sebuah urgensi yang hendaknya segera ditangani secara intensif dan berkesinambungan.
Saat ini Indonesia telah memasuki babak baru dalam kepemimpinan nasional dengan terpilihnya dan terlantiknya secara resmi presiden dan wakil presiden yang baru, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Yang namanya kepemimpinan baru, tentunya akan menghadapi beberapa tantangan besar yang disuguhkan dan sekaligus menjadi 'PR' untuk segera diselesaikan dan dicarikan solusinya, terutama masalah pendidikan Indonesia. Pendidikan Indonesia yang hingga saat ini terpandang masih terkatung - katung nasibnya kalau tidak segera ditangani juga akan berdampak buruk ke depannya. Dan...inilah salah satu masalah yang patut disimak oleh para petinggi negara terutama oleh pemimpin bangsa ini.
Pendidikan nasional sesuai dengan kaidah yang berlaku secara internasional, itu diukur berdasarkan beberapa indikator utama. Beberapa indikator yang berelasi dengan pendidikan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Angka Melek Huruf (AMH), serta Persentase Partisipasi Sekolah. Kalau diperhatikan, IPM Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.
[caption id="attachment_368287" align="aligncenter" width="482" caption="Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2004 - 2012 (diolah), sumber : Statistik Indonesia 2014, dok.Pri"]
[/caption]
Sejak tahun 2004 hingga tahun 2012 kemarin, tren IPM Indonesia tanpa melaju naik. Tetapi perlu dipahami, bahwa IPM merupakan sebuah indeks komposit yang di dalamnya mengandung beberapa indeks, dan salah satunya adalah indeks pendidikan. Meskipun IPM Indonesia naik, tetapi jika di telusuri lebih lanjut, AMH cenderung masih mengandung permasalahan besar.
[caption id="attachment_368288" align="aligncenter" width="484" caption="Persentase Angka Melek Huruf (AMH) Indonesia Tahun 2004 - 2013 (diolah), sumber : Statistik Indonesia 2014, Dok.Pri"]
[/caption]
Data menyebutkan, dari tahun 2004 hingga tahun 2008 AMH Indonesia untuk usia penduduk 5 tahun ke atas terus meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk Indonesia yang lajunya mencapai sekitar 1,41% per tahun. Namun, terlihat mulai tahun 2009 hingga 2013 kemarin, AMH Indonesia relatif berflutuatif. Tahun 2009 dan tahun 2011 tampak turun dari sebelumnya. Memang penurunan AMH ini perlu dipahami dengan beberapa kemungkinan. Seseorang itu terhitung buta huruf apabila tidak bisa membaca atau tidak bisa menulis, apalagi kedua-duanya, baik latin maupun huruf lainnya. Sehingga penurunan AMH kemungkinan besar berkaitan dengan proporsi penduduk usia lanjut sedikit lebih besar, atau berkurangnya partisipasi sekolah sehingga jumlah penduduk yang tidak mampu membaca dan atau menulis akan bertambah. Kemungkin selanjutnya adalah adanya perbedaan cakupan wilayah dan metodologi pendataan penduduk buta huruf dan buta aksara yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sehingga pembaca data, khususnya tahun 2011 perlu berhati-hati karena pada saat itu BPS melakukan perubahan metodologi pendataan penduduk terkait AMH dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS).
Kondisi terakhir tahun 2013 berdasarkan data Statistik Indonesia menyebutkan, persentase penduduk usia 5 tahun ke atas yang tidak atau belum pernah sekolah sebanyak 7,80 persen. Persentase angka partisipasi sekolah di perkotaan masih 5,84 persen dan di perdesaan sebesar 9,79 persen. Lebih lanjut, jika dilihat berdasarkan golongan usia, di perkotaan persentase terkecil berada pada usia 10 - 14 tahun dan terbesar pada golongan usia 5 - 9 tahun. Artinya, di perkotaan, penduduk yang menyekolahkan ke PAUD hingga SD sudah bertambah banyak, sementara semangat penduduk untuk meneruskan sekolah dari SD ke SMP atau sederajat lebih kecil. Sementara itu, di perdesaan, persentase angka partisipasi sekolah paling kecil pada golongan usia 15 - 19 tahun dan terbesar di golongan usia 5 - 9 tahun. Artinya, partisipasi penduduk untuk melanjutkan ke jenjang SMA paling kecil, mungkin karena kendala ekonomi dan lainnya, tetapi sama halnya di perkotaan, penduduk yang menyekolahkan anaknya ke PAUD hingga SD cukup besar. Kondisi inilah yang menyebabkan AMH terus naik. Sejauh ini, pemerintah dinilai berhasil menggalakkan program pendidikan wajib 9 tahun meskipun tampaknya terdapat tanda tanya besar mengenai penyerapan peserta didik melalui program kejar paket untuk memberantas penduduk buta huruf dan atas aksara di Indonesia. Dalam hal ini, diperlukan adanya kajian khusus mengenai kualitas dan besarnya daya serap pendidikan kejar paket sebagai bentuk upaya meneropong besarnya penduduk buta huruf dan atau aksara di Indonesia.
Secara garis besar, penurunan AMH tidak semena-mena hanya karena kondisi realita pendidikan nasional yang memburuk kualitasnya, tetapi juga bergantung pada metodologi pendataan yang digunakan hingga tercetaknya statsitik pendidikan nasional. Oleh karena itu, pembaca data hendaknya perlu jeli dan dengan cermat dalam melihat fenomena penurunan dan penaikan data-data statistik Indonesia.
**********************************************************************************************