[caption id="attachment_394485" align="aligncenter" width="624" caption="Para PNS DKI mengantee demi bersalaaman dengan Gubernur Jokowi dan Wagub Ahok, di Balaikota Jakarta, Senin (4/8/2014). (Kompas.com/Kurnia Sari Aziza)"][/caption]
Beberapa hari yang lalu, pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan sebuah rencana terkait gaji PNS DKI mulai 2015. Meski ketetapan tersebut masih rencana, namun di media sudah ramai mendapatkan respons dari masyarakat. Pemerintah DKI berencana menaikkan gaji PNS dengan patokan gaji maksimal yang didapatkan oleh setiap jajaran struktural ataupun fungsional institusi pemerintah DKI. Kenaikan gaji PNS DKI tersebut sontak menimbulkan berbagai tanggapan, pasalnya nilai gaji yang diberikan untuk PNS DKI minimal sekitar Rp 9 juta dan maksimal mencapai sekitar Rp 78 juta.
Angka gaji yang "selangit" tersebut memang sudah didiskusikan oleh petinggi pemerintah DKI. Pemprov DKI beralasan dengan menaikkan gaji maka pada waktunya akan mampu mengurangi tingkat korupsi para pegawai instansi Pemprov DKI yang sebelumnya dianggap tinggi.
Wacana kenaikan gaji memang telah dilakukan dari tahun ke tahun, tetapi yang membuat kenaikan gaji kali ini terbilang "wow" adalah persentase kenaikan yang fantastis. Memang, menurut studi empiris Lambsdorff (2000), meningkatkan gaji pemerintah sebesar 2 persen akan memperbaiki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebanyak 2 point atau 2 point lebih baik dari sebelumnya. Menurut Rickeghem dan Weder (1997), mengurangi perbedaan gaji relatif antara pegawai negeri terhadap pegawai swasta akan mengurangi tingkat korupsi. Kemudian menurut Evans dan Rauch (1996) menyatakan bahwa pemberlakuan sistem penerimaan gaji pegawai yang baik akan berdampak negatif terhadap korupsi, artinya korupsi semakin berkurang dengan adanya sistem penggajian yang baik.
Tetapi korupsi tidak hanya dipengaruhi oleh gaji. Terdapat faktor lain yang seharusnya lebih menjadi fokus utama pemerintah daripada dengan mekanisme kenaikan gaji. Apalagi dengan nominal yang terlalu tinggi, tentu secara otomatis akan menimbulkan kecemburuan sosial, baik antara masyarakat dan antardaerah di Indonesia. Faktor morallah yang seharusnya ditata terlebih dahulu ditanamkan kepada para pegawai instansi pemerintah.
Dalam sebuah acara televisi, wakil gubernur DKI menuturkan bahwa kenaikan gaji PNS DKI diberikan dengan memangkas seluruh gaji honorarium yang ada pada setiap tugas atau proyek yang dilaksanakan oleh setiap pegawai. Artinya, gaji kegiatan dipangkas atau sama sekali ditiadakan alias tidak ada gajiceperan. Tentu dengan kenaikan gaji PNS DKI tersebut dibarengi dengan kinerja yang baik dan pada saatnya diharapkan mampu mencetak pegawai-pegawai yang profesional dalam melayani keperluan masyarakat DKI.
Tetapi, sekali lagi, persoalan mengenai korupsi tidak bisa hanya dengan mekanisme kenaikan gaji yang secara konkret mengorbankan sejumlah uang yang di dalamnya terdapat hak rakyat miskin. Manusia itu jika diberi dua buah gunung emas seukuran gunung pun, maka ia akan mencari dan berupaya mendapatkan gunung ketiga dan seterusnya. Teori ekonomi juga menjelaskan bahwa semakin tinggi pendapatan, maka akan meningkatkan pengeluaran dan tabungan. Walakin, uang tersebutkan berputar dan tersimpan pada golongan orang-orang ekonomi menengah ke atas, bagaimana dengan golongan ekonomi bawah, pedagang asongan, petani gurem, tukang sol sepatu, tukang jahit keliling? Apa yang dapat mereka nikmati? Semoga apa pun kebijakannya, pemerintah masih tidak men-tuli-kan telinganya untuk mendengar aspirasi rakyat jelata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H