Lihat ke Halaman Asli

Joko Yuliyanto

pendiri komunitas Seniman NU

Sistem Pendidikan Robot

Diperbarui: 13 Maret 2022   06:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Arsip Rumah Baca Cengka Ciko/KOMPAS.com/Markus Makur

Manusia hidup untuk belajar. Dalam proses pembelajaran dibutuhkan sistem pendidikan yang berkualitas dengan mempertimbangkan aspek nilai di masyarakat didukung kebijakan ideal dari pemerintah.

Indonesia sendiri masih jauh dari standar sistem pendidikan yang baik, mulai dari intimidasi korporasi, intervensi politik, dan kepatuhan terhadap tata nilai agama.

Pendidikan terbatas pada sistem yang memaksa siswa diperlakukan sama. Parameter kesuksesan seseorang dinilai dari ujian serentak (setara) yang menentukan langkah masa depan berikutnya.

Sedangkan bakat dan potensi masing-masing individu terpendam untuk merelakan bekerja tidak sesuai minatnya. Apalagi persepsi di masyarakat yang mengukur keberhasilan seseorang berdasarkan "kerja" dan tidaknya.

Realita di masyarakat banyak yang mendapatkan peringkat tinggi semasa sekolah, namun harus menjadi buruh pabrik. Sedangkan mereka yang dianggap bodoh di sekolah malah sukses menjadi wirausaha atau manajer di sebuah perusahaan. Nilai sekolah nyatanya tidak berbanding lurus dengan kesuksesan seseorang di masa depan.

Banyak alasan mendasari sukses dan tidaknya seseorang. Siswa yang pandai di kelas kalah dengan siswa bodoh tapi cukup modal untuk terus sekolah. Ada faktor mental yang mendasari pengambilan risiko kesuksesan seseorang. Sedangkan sistem pendidikan di Indoneisa tidak cukup memfasilitasi potensi siswa untuk terus berkembang sebab aturan yang kaku.

Masalah selanjutnya adalah ketidakmampuan sistem pendidikan Indonesia memahami bakat dan potensi anak. Dipaksa mengikuti kurikulum pendidikan yang disediakan. Peringkat didasarkan mampu dan tidaknya siswa mengerjakan soal yang mungkin tidak diminatinya. Pendidikan Indonesia tidak menyediakan fasilitas mengembangkan bakat kesenian, agama, olahraga, dan lain sebagainya. Pemerintah malah sibuk mengobrak-abirk kurikulum yang hasilnya tetap sama.

Mutu pendidikan Indonesia masih seputar seberapa cakap siswa menghafal. Siswa tidak dilatih untuk mampu memahami pelajaran. Sikap kreatif dianggap menantang tradisi lama. Sampai pada tingkat stres siswa sebab tuntutan pendidikan yang semakin hari semakin tidak jelas arah tujuannya. Banyak pelajaran yang belum layak diberikan pada anak seusianya. Siswa hanya dijadikan robot (semuanya sama) di masa depan.

Sejak kemerdekaan, pendidikan Indonesia sudah gonta-ganti kurikulum seperti Rentjana Pelajaran 1947, Rentjana Pelajaran Terurai 1952, Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Suplemen Kurikulum 1999, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), Kurikulum 2013, dan Kurikulum 2015.

Ketertinggalan pendidikan Indonesia tidak lepas dari budaya feodal yang mengakar sejak dulu. Sikap kritis dianggap pemberontakan. Membungkat pertanyaan agar tunduk pada perintah guru. Guru punya tanggungjawab menjadi acuan dalam bersikap. Sedangkan guru tidak selalu punya kapasitas dan kepribadian yang layak untuk diikuti. Buktinya kasus pelecehan dan kekerasan masih sering terjadi di lingkup pendidikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline