Lihat ke Halaman Asli

Joko Yuliyanto

pendiri komunitas Seniman NU

Ketika Cak Nun dan Kyai Kanjeng Didebat di Gumulan Klaten

Diperbarui: 24 April 2017   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebelumnya mohon maaf, mungkin tulisan berikut agak nglantur tidak ilmiah karena memang lagi banyak pikiran dan capek (kurang tidur). baiklah, disini saya akan menulis mengenai kegiatan sinau bareng bersama Cak Nun dan Kyai Kanjeng di Srago Cilik, Gumulan, Klaten Tengah, Klaten malam tadi (24/4). pengajian dimulai jam 8 malam yang diisi dzikir tahilil dari jamaah yang berasal dari Gumulan (maaf saya tidak tahu namanya karena memang datang terlambat). sekitar jam setengah 9 dzikir berakhir, kemudian diisi beberapa nomor lagu dari kyai kanjeng.

Jam 9 Emha Ainun Najib, atau yang kerap disapa cak nun, naik panggung bersama Kyai Muzammil, jajaran muspika klaten, danramil, polsek dan kepala desa serta beberapa panitia penyelenggara. Tidak seperti biasanya, sebelum memulai pembahasan Cak Nun memulai dengan bacaan Al-Fatihah, An-Nas, Al-Falaq dan Al-Ikhlas yang dimaksudkan agar terhindar dari macam bala dan menambah ketauhidan kepada Allah SWT.

Pengajian kali ini dilaksanakan sebagai wadah toleransi dalam beragama sesama muslim yang terjadi perdebatan di desa Gumulan. Dan cak Nun dilihat sebagai sosok yang tepat dihadirkan karena memang kemampuan beliau menyelasaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Sebelum masuk kepembahasan tentang bagaimana hukum islam (fiqih), cak Nun menjabarkan 3 perkara yang dialami manusia di dunia.

Keinginan, yang berasal dari hati.

Kebutuhan, yang berasal dari pikiran.

Kenyataan, ketentuan dari Allah SWT

Saya kira tidak perlu saya jelaskan panjang lebar, karena sudah jelas setiap manusia mengalami 3 hal tersebut. Yang menjadi pesan adalah bagaimana kita berikhtiar dan bersyukur terhadap apapun yang telah diberikan Allah kepada kita semua.

Untuk melihat sudut pandang yang berbeda, Cak Nun mengundang 3 orang yang berbeda generasi, yakni pemuda 17 tahun, bapak 37 tahun dan bapak 49 tahun. Mereka berbicara mengenai 3 perkara diatas. Dan hasilnya memang berbeda bahwa semakin tua maka semakin dewasa pemikirannya dalam menjalani kehidupan. Atau istilah jawa menep ati.

Saat ini manusia terpenjara dalam paradigma hitam dan putih, benar dan salah. Seharusnya manusia harus bisa berfikir luas dalam memandang sesuatu, tidak sempit dengan membenarkan mutlak seseorang. Empan papan,manusia harus bisa menempatkan diri dari berbagai posisi dan mempunyai pedoman dalam berperilaku. Semua informasi harus diolah terlebih dahulu, tidak menyimpulkan secara tergesa-gesa.

Pemuda zaman sekarang serba instan menerima informasi termasuk masalah agama. Hal ini yang membuat banyak perselisihan antar kalangan dan generasai mengenai sudut pandang dalam beragama. Setelah membuka pemikiran jamaah, cak Nun meminta 2 nomor lagu (bambang wetan dan cinta bersabarlah dari letto) sebelum pembahasan inti.

Selanjutnya kyai muzamil, menjelaskan mengenai hukum fiqih. Beliau menjelaskan ada beberapa persepsi yang salah mengenai sunah dan bid’ah. Dalam perbedaan kita harus melihat secara syariat dan budaya. Misal hobi, tidak semua harus sama dengan rosulullah. Misal nabi suka warna hijau tua dan putih bukan lantas kita dituntut untuk menyukai warna tersebut karena takdir setiap manusia berbeda. Kemudian Nabi suka memakai jubah, ya memang karena beliau hidup di jazirah arab. Bukan lantas kita dituntut berpakaian seperti orang arab karena memang keadaan geografis dan budaya kita berbeda. Namun dalam kaidah syariat tetap wajib dilakukan seperti menutup aurat, apapun pakaian tidak dipermasalahkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline