Lihat ke Halaman Asli

Idealisme yang Terkoyak

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sahabt diklat dan para senior sekalian. saya akan sedikit bercerita tentang pengalaman saya selaku guru muda yang mencoba ingin menegakkan idelisme dan kedisiplinan,

saya mengajar disekolah yang memiliki murit sangat luarbiasa, mereka adalah murit yang tidak dapat melanjutkan di sekolah negri dengan alasan nilai atau hasil tes yang mreka dapat tidak memenuhi kriteria yang diterapkan disekolah negri, yang luarbiasanya lagi banyak dari mereka yang memiliki prilaku yang sangat kurang baik, sopan santun yang sangat miris apabila kita melihatnya, kepribadian yang sangat menyedihkan, bahkan sama sekali tidak ada rasa ingin mendapatkan ilmu, mungkin bagi mereka sekolah hanyalah tempat mengisi kekosongan waktu, sehingga setiap kali di dalam kelas mereka selalu menciptakan kegaduhan yang luarbisa.

Dari prilaku-prilaku yang luarbisalah masalah saya selalu muncul bertubi-tubi, saya adalah saya adalah anak yang dari kecil selalu hidup dalam dunia kedisiplinan baik itu dari keluarga saya ataupun dari sekolah yang pernah mendidik saya, saya ingin sekali merubah mereka menjadi siswa siswi yang dapat menjadi orang yang luarbiasa baik, dengan idialisme dan kepercayaan diri yang kuat saya mencoba perlahan memperbaiki, baik dari cara berpakaian, sopan santun, ketertiban belajar, ketertiban dalam melaksanakan ibadah sholat, dan yang lainnya.

tapi semakin saya maju berjuangan seperti saya menaiki gunung yang sangat tinggi sungguh berat, bahkan kadang seperti saya ingin sekali berhenti karena keputusasaan yang saya alami. saya hanya dianggap guru yang galak, saya hanya menjadi gunjingan mereka, saya hanya menjadi bahan hinaan bagi mereka bahkan kadang saya hanya dianggap boneka yang berdiri didepan kelas. yah memang tidak semua murit menganggap saya seperti itu tapi sakit hati saya perjuangan yang saya lakukan untuk kebaikan mereka pedas sekali cobaannya.

mungkin memang tidak hanya saya yang merasakannya beberapa guru pun merasakannya, kadang mereka mengeluh, menangis, merasakan beratnya menegakkan kedisiplinan. semuanya begitu menyesakan hati saya, semuanya begitu meyedihkan bagi saya.sangat berbeda sekali dengan pengalaman saya ketika masih praktek disekolah Unggulan yang tidakhanya menjadi unggulan provinsi bahkan menjadi unggulan nasional karena salahsatu muritnya pernah menjadi peraih mendali emas di olimpiade biologi internasional. disana begitu menyenangkan, begitu mengasikan, sangat terasa kenikmatan menjadi seorang guru. berbeda juga dengan sekolah lain tempat saya mengajar walapun masih sekolah dasar sungguh muritnya memiliki sopan santun yang luarbiasa, perhatian dengan pelajaran, kopetinsi keingintauan yang sungguh membuat kita bahagia, bahkan perhatian dan kedekatan dengan guru yang selalu apik terjalin. sebenarnya saya juga sadar sekolah saya sekarang tidak dapat menjadi seperti itu, saya tidak mengharapkan mereka pintar ilmunya, tapi hanya ingin mereka memiliki kedisiplinan dan sopansantun yang mulia.

berjuang memang memerlukan pengorbanan tapi kadang apa pengorbanan harus terasa sangat menyakitkan seperti ini, niat baik dan iklas apa harus hanya terbayar seperti ini, rasa sayang dan perhatian harus terbayar seperti ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline