Lihat ke Halaman Asli

Kenapa Masyarakat Kita Mudah Marah (2)

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

‘Berani Bentrok Karena Harga Diri’

Apakah ketika melakukan saling serang, saling tembak dan saling bakar, kedua kelompok atau komunitas yang tengah bertikai itu masing-masing dalaam rangka untuk mempertahankan harga diri?. Kalau ya, harga diri yang bagaimanakah yang dimaksud para pihak yang terlibat konflik.

Kepada penulis, Ashar Yotomaruangi, yang merupakan akademisi sekaligus penjaga Budaya Kaili mengawali perbincangan ringan, dengan topik ‘untuk apa pelaku konflik melakukan hal-hal itu. Padahal, sesama pelaku; mereka juga sadar dan tahu, bahwa diantara mereka masih ada pertalian kekerabatan.

Menurut Ashar, kalaupun karena motivasi menjaga harga diri, tentunya masyarakat lebih harus marah ketika ditengah pertumbuhan dan pembangunan beberapa pusat perbelanjaan, perhotelan dan usaha-usaha jasa diatas tanah leluhur mereka. Tetapi masyarakat lokal tidaksedikitpun mendapat akses untuk terserap untuk bekerja didalamnya. Dan masyarakat lokal hanya berada pada posisi sebagai penonton.

Tapi kenyataannya; kata Ashar, tenaga kerja warga sekitar tidak sedikit yang terserap sebagai tenaga kerja pada pusat-pusat perbelanjaan yang terus bertumbuh saat ini.

“Ada kekeliruan dari saudara-saudara kita, sebagian kecil masyarakat kita, dalam memahami arti dan makna harga diri. Kita terhina, jika sebagai orang lokal tidakmendapat tempat dan kesempatan sedikitpun ditengah maraknya pertumbuhan yang dilakukan investor dari luar ini,” kata Ashar.

Selain faktor kesalahan dalam memahami arti dan makna harga diri, kata Ashar, harus diakui jika faktor dari luar sangat besar pengaruhnya terhadap nilai-nilai kearifan kehidupan yang diajarkan nenek moyang masyarakat.

Orang menyebut faktor dengan istilah globalisasi dengan segala turunannya, antara lain adalah liberalisme hingga kapitalisme. Faktor inilah yang menyadarkan masyarakat terhadap nilai ekonomi.

Tiap detik masyarakat mendapat ajaran tentang nilai-nilai luar itu, melalui siaran, tayangan dan tulisan media massa, bahkan yang terkini adalah media sosial. Produk kebijakan pemerintah yang sulit dipahami masyarakat awam, karena terkadang nampak lebih berpihak kepada pemodal-pun jadi faktor pendukung terhadap penggerusan nilai-nilai kearifan ajaran hidup dalam kehidupan dari para leluhur masyarakat.

**

Arkeolog museum Sulawesi Tengah, Iksam Djorimi kepada penulis mengatakan, bentrok antar kelompok masyarakat, namun dia lebih suka menggunakan istilah bentrok antar komunitas, dapat dicegah dan dihentikan ketika ada ‘orang tua’ yang menjadi sentral figur ditengah masyarakat.

Orang tua yang dapat dapat mengingatkan kepada yang muda. Dan orang tua tersebut tidak sekedar dari segi umur, tetapi dia adalah sosok orang tua dalam artian sebagai tempat untuk bertanya hingga mengambil keputusan dalam menghadapi persoalan dalam kehidupan masyarakat.

Karena dia adalah figur yang juga menjadi perpustakaan hidup bagi masyarakat. “Karena saat ini banyak orang hanya tua umurnya, tapi dia tidak paham dengan adat istiadat ajaran para leluhur kita,” katanya.

Menurut Iksam, setelah kata kunci pertama, bahwa masyarakat kita tengah krisis figur, kata kunci kedua adalah masyarakat semakin jauh dengan akar budayanya sendiri.

Sebagai ilustrasi, Iksam mengisahkan, sekitar tahun 80-an, saat dia masih duduk dibangku SMA, masih sering terjadi perkelehaian antar kelompok Pemuda Tatura dan Pemuda Lolu, dan pusat perkelahian saat berada diantara kedua wilayah tersebut, yang saat ini telah jadi tempat berdiri bangunan Mall Tatura.

Lambat laun kedua kubu berhasil didamaikan melalui penghidupan kembali tradisi para leluhur, dan tradisi itu adalah yang disebut dengan Nosipanjayo atau bahasa sekarang disebut dengan silaturahmi oleh para Totua atau para sesepuh kedua belah pihak.

Sesepuh masyarakat Tatangan, Amilis Lagaramusu juga mengamini, bahwa persoalan krisis figur dan jauhnya akar budaya dari kehidupan masyarakat merupakan salah satu faktor para pemuda terlibat bentrok.

Kalaupun ada upaya penghidupan Nosipanjayo tetapi tidak juga berhasil mendamaikan bentrok, kembalinya adalah kepercayaan terhadap figur itu sendiri.***

(Tulisan ini pernah diterbitkan di harian Sulteng Post, untuk program fellowship resolusi konflik AJI Palu 2013)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline