Lihat ke Halaman Asli

Kenapa Masyarakat Kita Mudah Marah (4-Habis)

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Memadamkan Api Dalam Sekam

Masyarakat kita yang saat ini telah berumur diatas 60 tahun. Dulu, saat dilanda asmara terhadap pujaan hati, jangankan berpegangan tangan, mendengar suaranya saja mampu membuat hati berbunga-bunga. Tapi remaja saat ini, sebagian besar diantaranya, tidak cukup hanya dengan berpegangan tangan, lebih dari dari itu, sesuatu yang seharusnya dijaga hingga pernikahan dengan mudahnya terlepas.

Hal itu karena kian menipisnya rasa untuk menjaga kehormatan diri. Dan jika untuk menjaga kehormatan diri saja tidak mampu, bagaimana hendak menjaga kehormatan diri sesamanya, mulai keluarga, saudara hingga tetangga.

Maka tak heran pula jika dengan mudahnya hal-hal kecil menyulut emosi, hingga mau dan bersedia saling menyerang dan menyakiti orang lain. Lebih luasnya adalah konflik.

Cinta dan kasih-sayang terhadap sesama, sehingga masyarakat tidak lagi mudah terpancing emosi untuk saling menyerang dan menyakiti, hal inilah yang sebenarnya harus dikembalikan kedalam diri masyarakat.

***

Penanganan konflik yang dilakukan pihak-pihak berwenang selama ini, baik pemerintah daerah maupun aparat keamanan, hanya mampu menghentikan konflik untuk sementara waktu dalam bentuk kegiatan-kegiatan seremonial, misalnya kesepakatan damai dengan menandatangani diatas lembar kain putih, yang diisi pula dengan sambutan-sambutan, ceramah serta doa bersama.

Dan, tiap kali konflik berulang, hal-hal serupa diulang pula, mulai sambutan-sambutan, ceramah, himbauan serta doa, kemudian makan-makan, dan beberapa waktu kemudian konflik terulang kembali.

Kenapa berulang, karena kesepakatan damai hanya dilakukan antar elit masyarakat bersama dengan elit pemerintah, dalam kubangan seremonial belaka. Dan bahkan, masyarakat pelaku konflik hanya ditempat pada posisi sebagai obyek perdamaian, bukan sebagai pemrakarsa dan aktor utama resolusi konflik.

Menuju perdamaian, masyarakat atau pelaku konflik harus berada pada posisi terdepan. Mereka jadi pemrakarsa, mereka yang menjadi aktor utama, dan mereka pula yang menentukan semuanya, mulai mencari dan menemukan akar persoalan, kemudian masyarakat pula yang mengerjakan semua.

Sedangkan posisi pemerintah dan aparat keamanan, secara hanya pemberi rangsangan untuk berdamai kepada masyarakat, secara aktif tapi senyap.

Berikutnya, dengan mengembalikan segala nilai-nilai keluhuran dan budi pekerti hidup masyarakat, melalui para sesepuh atau tokoh adat atau tokoh masyarakat setempat kedalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Atau dengan kata lain, mengembalikan nilai adat ketempatnya, yang bukan dilakukan oleh pemerintah atau pihak keamanan.

Misalnya, dengan mendorong antar sesama sesepuh atau Totua Nuada untuk menghidupkan kembali tradisi nosipanjayo (silaturahmi) untuk membahas persoalan mereka sendiri. Nosipanjayo dalam artian yang tidak terjebak dalam tradisi seremonial seperti yang dilakukan pemerintah.

Selanjutnya, tidak seharusnya, para prajurit maupun pucuk pimpinan aparat keamanan, ketika dinilai berhasil menghentikan konflik mendapat reward, dalam bentuk kenaikan pangkat atau senilai uang.

Karena, terbukti selama ini, penanganan konflik oleh aparat keamanan hanya mampu menghentikan untuk sementara konflik, dan tidak menyelesaikan konflik dengan mencabut persoalan hingga ke akar-akarnya.

Tetapi hanya menghentikan untuk sementara waktu, kemudian sebagian besar konflik terulang, bahkan terkadang lebih besar eskalasinya.

**

Penulis akan menekankan, bahwa penyelesaian dan pencegahan konflik melalui pendekatan kultural, yang 99 persen berasal dari masayarakat sendiri akan jauh lebih efektif. Masyarakat hanya diberikan stimulus kembali saling mencintai dan menyayangi sesama.

Menstimulasi masyarakat untuk menghormati dan menghargai nilai-nilai keindahan budi pekerti adat dari leluhur.

Pemerintah tidak boleh hanya mengikuti trend pembangunan modern yang berorientasi pada orientasi ekonomi, melalui program-program pembangunan fisik, yang terlihat mengesampingkan nilai-nilai tradisi masyarakat.***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline