Lihat ke Halaman Asli

Dimanakah Kemerdekaan Beragama & Berkeyakinan?

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia sangat jelas telah memperingati hari kemerdekaannya yang ke-65. Jika disetarakan dengan usia manusia, maka Indonesia sudah memasuki usia senjanya, dimana sudah banyak makan garam kehidupan, dimana pastinya akan sejalan dengan yang namanya kedewasaan priibadi dan juga karakter.

 

Tapi apa mau dikata, seperti kata teman, setiap orang pasti akan tua, tetapi belum tentu setiap orang akan menjadi dewasa. Ketuaan adalah suatu keniscayaan, tetapi kedewasaan adalah pilihan. Nampaknya segenap kita belum dewasa dalam bersikap ketika menghadapi perbedaan yang ada. Kalau katanya perbedaan itu indah, keragaman adalah suatu kekayaan, maka nampaknya itu hanya diamini oleh segelintir orang saja di negara ini.

 

Hal ini terlihat jelas ketika terjadi pembiaran terhadap aksi kekerasan terhadap suatu agama ataupun kepercayaan. Pembiaran oleh pemerintah maupun aparat yang memiliki kuasa dan hak yang legal untuk mengamankan dan melindungi setiap warga negara Indonesia. Ada apa dengan negara ini? Ada apa dengan para aparat polisi? Ada apa dengan pemerintah baik eksekutif maupun legislatif? Semua bak macan ompong! Semua bak terkena penyakit impoten!

 

Di bangku SMP saya ingat dengan jelas bagaimana urutan peraturan perundang-undangan, dimulai dari yang terumum/mendasar hingga peraturan-peraturan lainnya yang mengikutinya. Prinsipnya jelas, tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya yang lebih memiliki kekuatan hukum yang lebih mengikat dan berdasar.

 

Bicara soal agama dan kepercayaan, maka jika dirunut dari peraturan yang paling dasar, maka dimulai dari UUD 1945 yang telah mengalami 4x amandemen. Di pasal 29 ayat 2 sangat jelas tertulis bahwa: negara MENJAMIN KEMERDEKAAN tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

 

Ditelisik dari situ saja terlihat dengan jelas bahwa negara sudah GAGAL TOTAL karena negara tidak menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Saya tekankan sekali lagi AGAMA dan KEPERCAYAAN seseorang. Apakah yang dipercayai tiap-tiap penduduk sesat atau tidak benar, itu bukan urusan negara—negara, dimana yang dimaksud adalah pemerintah, tidak bisa menjadi penentu mana yang sesat, sehat, benar, tidak benar, tidak sesat dari suatu ajaran agama apa pun—yang sangat jelas bagian negara adalah menjamin/melindungi KEMERDEKAAN tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, apapun agama dan kepercayaannya!

 

Yang saya bicarakan di atas adalah hak dasar/asasi dari tiap warga negara, bukan tentang izin pembangunan tempat peribadatan. Izin pembangunan jelas sangat diperlukan, kalau tidak ada izin, maka akan ada banyak bangunan liar. Sesuai dengan yang diatur di peraturan bersama 2 menteri, maka izin pembangunan yang diajukan oleh umat suatu agama HARUS dijawab oleh walikota atau bupati setempat dalam jangka waktu tertentu. Jawaban mereka bisa menerima atau menolak izin yang diajukan, dimana seperti biasa, kalau ditolak maka harus disertai dengan catatan-catatan untuk melengkapi atau merevisi bagian-bagian yang masih dianggap kurang memenuhi syarat, sehingga izin yang ditolak tersebut dapat diajukan lagi kedepannya dengan perbaikan disana-sini.

 

Kalau kumpulan umat tersebut tidak kooperatif, maka memang masuk akal ijinnya ditolak, habis perkara. Tetapi bagaimana kalau pihak walikota atau bupati yang tak kooperatif dan lebih parahnya lagi tidak mau memfasilitasi atau menjawab ijin yang diajukan, sehingga permohonan ijin yang sedianya direspon dalam kurun waktu tertentu, justru menjadi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun? Maka solusinya yang sesuai dengan jalur hukum adalah gugat mereka!

 

Dengan kualitas pilkada yang ada saat ini, ditambah juga dengan biasanya para pemimpin daerah yang menang belum tentu karena kualitas yang mumpuni, maka saya sangat hakul yakin kalau beberapa pemimpin daerah tidak tahu aturan main yang sangat sederhana dari perber 2 menteri ini. Tidak tahu karena memang mereka tidak pernah tahu alias tidak pernah baca perber tersebut, atau memang tidak mau membacanya, atau sudah baca tetapi tidak mau peduli karena beda dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya.

 

Jadi kalau mau disimpulkan, maka sebenarnya dasar dari fenomena yang ada di negara ini adalah bukan di peraturannya, tetapi memang sebagian dari kita warga Indonesia ada yang masih alergi dengan perbedaan yang ada, baik itu perbedaan agama, suku, iman, kepercayaan, dll. termasuk perbedaan KEMERDEKAAN hak asasi orang lain sehingga sangat susah sekali bertoleransi dengan sesama yang ada. Nampaknya kita memang sudah tua, tetapi belum dewasa. Sudah merdeka, tetapi sesungguhnya belum bagi sebagian penduduknya.

 

Salam kemerdekaan beragama dan berkeyakinan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline