Lihat ke Halaman Asli

Redenominasi Ala Jepang

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya tidak pernah belajar ilmu ekonomi secara formal dan saya menuliskan artikel ini hanya sebatas apa yang saya dengar dari teman saya yang belajar ekonomi di pendidikan formal. Dia berlatar belakang pendidikan S1.

 

Ketika isu redenominasi mulai bergulir, maka saya menanyakan ke teman saya di atas itu apa arti redenominasi. Secara singkat jawabannya sama seperti yang kita ketahui sekarang ini, yaitu bicara pemotongan digit, dalam hal ini 3 digit terbelakang, tanpa ada pemotongan nilai belinya. Jadi kalau yang sebelumnya mata uang kita tertera Rp. 1.000,00, maka akan menjadi Rp. 1,00. Dan jika dengan Rp. 1.000,00 kita dapat membeli satu gorengan, maka hal yang sama juga dapat dilakukan dengan Rp. 1,00 itu. Jadi hanya berupa penyederhanaan penulisan mata uang saja. Tak lebih!

 

Sepertinya akan aman-aman saja dalam benak saya, tapi menurut dia belum tentu. Baginya bangsa Indonesia masih bangsa “latah”, bisa saja rakyat Indonesia akan sedikit terpancing ketika mendengar Rp. 1.000,00 menjadi Rp. 1,00. Bisa-bisa mereka pikir, harta mereka akan berkurang banyak dengan rencana redenomonasi ini. Belum lagi secara psikologi bisa jadi ketika mendengar Rp. 1,00 maka asosiasinya adalah suatu harga yang sangat murah, dan ketika harga berubah menjadi Rp. 2,00, maka masih terdengar murah, padahal harga yang Rp. 1.000,00 sudah menjadi Rp. 2.000,00. Katanya lihat saja menjelang bulan puasa ini, maka para pedagang akan memanfaatkan menaikkan harga, padahal stock bisa saja terbilang aman, tapi namanya hari raya, maka biasanya rakyat Indonesia mengerti saja kalau harga-harga bergerak naik. Begitu juga dengan harga minyak, harga minyak naik maka semua harga akan naik. Harga minyak turun, maka tak ada yang mau menurunkan harga barangnya lagi. Bisa-bisa dengan adanya redenominasi ini maka akan terjadi hyperinflation.

 

Tapi yang paling menjadi sorotan dia adalah alasan kenapa redenominasi dilakukan. Jika karena mata uang kita sudah menjadi “mata uang sampah”, atau terdapat gap yang begitu besar dibandingkan dengan dollar Amerika selaku salah satu tolok ukur mata uang yang ada di dunia, dan untuk menaikkan harkat dan derajat bangsa ketika mengatakan USD 1 = Rp. 9,00, maka dia kecewa berat dengan Pak Darmin dan jajarannya dan beberapa anggota DPR yang menyetujuinya.

 

Dia menjelaskan perihal Jepang yang mengalami krisis ekonomi di tahun 70-an (CMIIW, akibat kelangkaan minyak), dan nilai mata uang yen terhadap dollar Amerika menjadi sangat rendah sekali. Tetapi apa yang pemerintah Jepang lakukan? Alih-alih melakukan redenominasi, malah Jepang melakukan gebrakan dalam bidang ekonominya. Berbagai pembaruan dilakukan, dan pembangunan di sektor riil terus dilakukan. Atau dengan kata lain, maka Jepang kerja keras untuk memperkecil gap antara nilai mata uang yen dengan dollar Amerika. Dan singkatnya di tahun 80-an Jepang mengalami kebangkitan ekonomi kembali, dan sekarang ini kita juga bisa melihat bagaimana kejayaan kondisi ekonomi Jepang.

 

Katanya kalau pemerintah malu inflasi makin membesar dan nilai mata uang kita begitu besar perbedannya dengan dollar Amerika, maka teman saya tersebut menyarankan kerja keras, bukan langsung main redenominasi. Redenominasi hanya akan menghasilkan kejayaan/kebanggan yang semu, alias luarnya bagus, padahal dalamnya bobrok. Tetapi kerja keras justru akan menghasilkan tampilan luar yang menarik dan sisi dalam yang kokoh, alias tidak rapuh. Redenominasi hanya akan menghasilkan kebanggaan sesaat, sedangkan kerja keras memperkecil inflasi akan menghasilkan kebanggan bangsa yang jangka panjang.

 

Solusi agar nilai mata uang kita berjaya seperti di era alm. Pak Soeharto adalah perkuat sektor rill, jangan sektor moneter/pasar uang terus. Kalau sektor riil terbangun, maka akan menyerap pengangguran, dan roda ekonomi akan mulai berputar lebih cepat lagi. SBY di era SMI fokus sekali ke pasar moneter, sedangkan sektor riil sangat terabaikan. Dan beberapa opsi lagi yang dia sebutkan.

 

Saya hanya termenung mendengar penjelasannya. Termenung karena sepertinya masuk akal juga yang disebutnya. Tapi masa iya, Pak Darmin yang S3 tidak bisa berpikir seperti itu juga? Atau teman saya itu belum mengerti saja peliknya berada di posisi Pak Darmin.

 

Di akhir penjelasannya itu, teman saya mencoba melihat positif dari wacana redenominasi yang bergulir, yaitu setidaknya ketika di hampir semua bidang tak ada yang bisa dibanggakan dari bangsa kita ini sebagai orang Indonesia, maka secuil rasa bangga yang semu itu pun mungkin bisa menjadi sangat berarti bagi rakyat Indonesia :(.

 

Salam prihatin.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline