Generasi Z Indonesia menghadapi kenyataan yang mengkhawatirkan, yaitu harga properti yang melonjak tinggi, menghalangi impian memiliki rumah sendiri.
Meskipun daya tarik untuk memiliki setapak rumah sangat kuat, namun lanskap ekonomi terkini ditambah dengan disrupsi teknologi, menuntut kehati-hatian dalam mengalokasikan uang.
Generasi ini mau tidak mau harus belajar dari krisis perumahan yang telah melumpuhkan ekonomi di berbagai negara sehingga kondisi finansial yang sehat dapat dipertimbangkan.
Krisis perumahan AS tahun 2008 menjadi pengingat nyata akan konsekuensi yang menghancurkan, dari spekulasi yang tidak terkendali dan praktik pinjaman yang tidak berkelanjutan.
Kredit mudah memicu lonjakan permintaan, menggelembungkan harga ke tingkat yang menakutkan. Ketika gelembung itu pecah, jutaan orang menghadapi kredit macet, berujung penyitaan, dan memicu krisis keuangan global.
Japan Lost Decade atau "Dekade yang Hilang" Jepang pada 1990-an memberikan kisah peringatan lainnya. Gelembung properti Jepang yang dipicu oleh investasi spekulatif dan kebijakan moneter yang longgar, menyebabkan periode stagnasi ekonomi yang berkepanjangan.
Pasar perumahan Korea Selatan juga mengalami periode kenaikan harga yang cepat, membuat banyak anak muda terbebani hutang dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan.
Krisis perumahan yang paling anyar, di Tiongkok saat ini, menawarkan contoh yang paling relevan namun menjadi alarm baik bagi kita.
Bertahun-tahun pengembangan perumahan yang agresif dan investasi spekulatif telah mendorong harga properti melangit, jauh melebihi kemampuan rata-rata anak muda.
Impian memiliki rumah terasa semakin jauh dari jangkauan, ditambah gelombang gagal bayar baru-baru ini oleh pengembang properti besar seperti Evergrande, meningkatkan kekhawatiran akan krisis ekonomi.