Topik serta obrolan terkait UMR Yogyakarta seringkali disinggung dalam berbagai postingan media sosial. Bagaimana tidak, UMR Yogyakarta yang tergolong terendah se-Indonesia ini dinilai tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bagi banyak pekerja di kota pelajar dan wisata ini. Pada awal tahun 2023, UMK di kota Yogyakarta adalah sebesar Rp 2.324.775, tertinggi dibanding kabupaten sekitarnya di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Besaran gaji tersebut ternyata sulit memenuhi kebutuhan pokok per bulannya yang selalu naik. Kenaikan harga kebutuhan pokok dapat terjadi karena berbagai sebab, seperti gagal panen, krisis, serta inflasi. Pandemi dan efeknya masih terasa sehingga masyarakat masih sulit untuk bangkit dan pulih sebelum masa pandemi.
Jika dibandingkan dengan harga kebutuhan pokok yang sama dengan kota-kota lainnya, maka dengan UMR saat ini, sangat rentan bagi suatu keluarga di Yogyakarta untuk terpeleset ke golongan keluarga miskin. Benar saja, pada bulan lalu BPS mencatat Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah termiskin di pulau Jawa. DIY memiliki tingkat kemiskinan sebesar 11,49 persen, atau sekitar 463.630 orang tergolong miskin.
Dalam metode, hasil penghitungan, dan laporan BPS tidak perlu terlalu diragukan karena faktanya memang demikian. Namun salah satu tanggapan yang menarik perhatian adalah kebahagiaan tidak dapat diukur dengan nominal uang. Kebahagiaan adalah faktor subyektif, yang hanya diviralkan karena sedang merasa bahagia, atau mungkin telah bahagia karena memiliki privilege, tanah atau rumah warisan, dan modal, sedangkan bagi pekerja ber-UMR di atas rasanya sulit merasa bahagia jika tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.
Salah satu kebutuhan pokok berupa makanan tidak akan tercapai kualitas baiknya dengan UMR rendah ini. Bagaimana anak-anak dapat mengkonsumsi protein berupa ikan dan daging, serta susu kaya nutrisi jika pendapatan orang tuanya banyak terserap untuk sewa rumah dan BBM. Jangan harap anak-anak akan dapat bersaing dengan secara akademik maupun dalam bidang olahraga jika asupan nutrisinya sangat terbatas.
Selain kebutuhan pangan yang ternyata sama harganya dengan kota besar, kebutuhan pokok berupa perumahan ternyata hanya sampai di mimpi. Sulit untuk mewujudkan keinginan punya rumah di bagi pekerja ber-UMR Yogyakarta karena harga tanah atau perumahan yang terlampau tinggi. Bagi investor atau pendatang bermodal lebih, properti di Yogyakarta tentu adalah investasi, namun bagi rakyat kecil, rumah adalah tempat tinggal bagi keluarga sederhana.
UMR Yogyakarta sangat memprihatinkan sehingga perlu kepedulian dari pemerintah daerah untuk mengatasinya, sebelum menjadi masalah lain yang lebih banyak. Jika masalah ini tidak diatasi maka kesenjangan sosial, kriminalitas, gizi buruk, dan penurunan kualitas SDM siap menanti. Mungkin masalah-masalah tersebut telah muncul namun enggan untuk dilaporkan, karena setiap kritikan pasti ditanggapi:"KTP ngendi mas"? (KTP mana mas?), yang kurang lebih berarti kalau bukan KTP atau orang asli Yogyakarta, tabu untuk mengkritik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H