4 Jam sudah bus melintasi pegunungan 3.000 mdpl dengan keadaan jalan meliuk curam di pinggiran jurang. Tak jarang ban terperosok ke lubang-lubang jalan daripada harus ambil resiko meliukkan badan bus ke samping kanan-kiri. Bus yang sedang kunaiki ini memang tidak terlalu tua, namun karena banyak belokan, goncangan, ditambah bau kampas rem bus membuat perutku ikut kocak tak beraturan.
Sesekali aku harus memuntahkan isi perutku ke dalam tas kresek hitam yang telah disediakan sebelumnya. Hanya aku satu-satunya penumpang yang muntah dan pusing tak karuan. Penumpang lain kulihat duduk santai dan beberapa terlihat terlelap.
Di luar jendela semakin jelas rangkaian pegunungan menyambung tak putus-putus. Beberapa tertutup salju, bercahaya menyilaukan dari sinar matahari yang seolah-olah berjarak beberapa langkah di atasnya. Di bawah terlihat anak-anak sungai, mengalir kecil pelan, membawa kemurnian untuk segala makhluk. Kubayangkan airnya pasti sangat dingin namun juga segar. Ia pasti berasal dari mata air pegunungan yang tak jauh.
Kubayangkan juga kuberada di pinggirannya, meraup dengan tangan menengadah, menyatu dengan dinginnya lalu menyeruput segarnya air. Kuharap kesegarannya dapat meredakan mual. Saat kusadar bahwa tak mungkin turun ke sungai, aku kembali memegangi perutku sambil tetap memandang ke depan agar tak lagi mual dan muntah.
Seorang kernet mendekatiku, mengatakan bahwa tujuanku akan segera sampai. Kubersiap menggendong satu tas gunung berukuran sedang sambil kulihat penumpang lain yang masih duduk dengan tenang. Sepertinya hanya aku yang turun di perhentian ini pikirku. Mereka mungkin menuju ke perhentian akhir yang lebih pelosok.
Setelah turun dari bus kumerasa silau saat melihat sekeliling. Tampaknya jarak matahari semakin dekat. Juga kumerasa semakin pusing karena mual selama perjalanan. Kuberjalan menuju penginapan yang telah kucari sebelumnya. Kubuka hape dan kulihat lagi nama penginapannya. Beberapa menit kuberjalan di jalan aspal yang masih silau membuatku semakin pusing, namun kumerasa pusingku bukan hanya karena mual dan silau.
Sampailah aku di depan penginapan yang kucari. Peninapan dua lantai ini terlihat sederhana namun memiliki gaya arsitek khas, terutama bangunannya yang bergaya Tibet. Kayu-kayu pada jendela dan atapnya bermotif kaya warna, serta tergelantung bendera berwarna warni khas tradisi suku Tibet.
Segera kumasuk dan penjaga penginapan melihatku sedikit terhuyung tanda seseorang yang sedang pusing. Ia menanyaiku apakah sebelumnya pernah ke tempat dengan ketinggian lebih dari 3000an meter dan kujawab belum pernah. Ia mengatakan rasa pusingku memang tidak hanya karena mual dan silau, namun juga rasa pusing karena ketinggian. Mereka yang telah lahir dan hidup di ketinggian ini sudah terbiasa menghirup oksigen yang lebih tipis daripada orang dataran rendah yang menghirup oksigen melimpah.
Segera ia menawariku dua botol obat yang harus kuminum setiap hari. Obat itu untuk meredakan pusing karena ketinggian. Tak lupa ia memberikanku kunci kamar, kumasuk dan segera kutidur pulas.
Aku terbangun dan kulihat di luar jendela semakin gelap. Aku yang masih merasa pusing memaksakan diri untuk bangun lalu keluar kamar. Kumelihat si penjaga penginapan sedang menyiapkan perapian. Perapian ini membuat suhu ruang tengah menjadi hangat. Maklum saja, di musim dingin mereka tak punya penghangat ruangan seperti rumah-rumah penduduk di kota. Hanya perapian inilah yang menjaga tubuhku tetap hangat untuk melewati malam.