Lihat ke Halaman Asli

Jojor MarthaTampubolon

Ibu Rumah Tangga

Surat untuk Mamak

Diperbarui: 30 Maret 2023   09:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

    Bulan ini genap satu tahun kepergianmu mak. Genap satu tahun juga tidak mendengarkan suaramu atau omelanmu di telepon,yg biasanya rutin kudengar setiap pagi dan setiap sore menjelang malam. Biasanya percakapan kita di pagi hari,pasti tentang masakan yang kubuat pada saat itu, sedangkan di sore menjelang malam selalu mengingatkan utk memeriksa kembali pintu depan dan pintu belakang juga kompor gas yang harus dicek beberapa kali. Bahkan bila mamak tau posisi kami sedang di luar rumah utk sesuatu urusan, pasti minimal dua kali lagi mengingatkan untuk segera pulang ke rumah. 

  Kelihatannya sepele,tapi ternyata setahun ini terasa sepi sekali tanpa hal hal kecil seperti itu. Di bulan pertama kepergianmu lebih terasa kekosongan yang timbul mendadak dengan kepergianmu yg tiba tiba dan tanpa pesan. Kadang HP yang sengaja kuletakkan di dekatku sewaktu memasak bolak balik kucek, masih berharap kepergianmu itu cuma mimpi buruk. Berharap pasti akan seperti biasanya, HP ku berbunyi dan di layarnya terlihat panggilan darimu. Tapi itu tidak terjadi walau seberapa sering aku melihat HP bolak balik ke arah meja makan tempatku meletakkan HP jika sedang memasak di dapur. Belum lagi ketika aku beberapa kali kurang sehat dalam setahun ini. Biasanya mamak yang selalu sibuk menelepon untuk menanyakan keadaanku, menanyakan makananku, menanyakan obatku, bahkan pasti dalam beberapa hari kemudian mengirim masakannya yang lezat, bukan hanya lezat di lidahku, tapi juga di lidah teman teman yang kadang ikut mencicipinya ketika singgah ke rumahku.

  Dalam setahun ini aku banyak berpikir dan merenungi tentang kepergianmu yg tiba tiba itu. Rasanya masih tetap tidak percaya semua terjadi begitu cepat. Malam sebelum kepergianmu, kita masih sempat mengobrol walau sebentar. Masih membahas tentang pembagian oleh oleh dari Bali, juga tentang pakaian yang ingin dipakai nantinya sewaktu cucunya yang paling besar wisuda nantinya. Dan seperti biasanya di akhir teleponnya mengingatkan aku lagi untuk memeriksa pintu depan, pintu belakang, dan kompor gas di dapur. Kalau ingat itu rasanya ingin mengulang waktu kembali ke masa itu, dan menghentikan waktu. Baru terasa pepatah yang biasa kudengar : Hidup itu tidak ada yang pasti. Yang pasti hanya kematian.

  Teringat kembali masa masa dulu. Masa dimana kita berdua terkadang berdebat karena sudut pandang kita yang terkadang berbeda dalam mengatasi suatu masalah. Sikapku yang mungkin kau anggap keras dan tidak mau mengalah, itu semua karena terkadang aku melihat dari sudut pandang yang berbeda denganmu. Aku condong melihat dampak ke depan dari suatu tindakan, sedangkan mamak suka bertindak dengan spontan, mencari jalan tercepat yang dilihatnya. Akibatnya kita berdua terkadang bisa saling mendiamkan satu sama lain ,tidak mau mengobrol di telepon selama beberapa saat, sampai kemudian seiring waktu yang berjalan, pelan pelan berdamai kembali seperti biasanya.

  Sering aku teringat dengan perjumpaan kita yang terakhir di bulan Desember 2021. Entah mengapa ada suatu dorongan yang kuat yang  memaksa aku untuk pulang kampung waktu itu. Padahal, aku sempat ragu karena virus covid masih merajalela dan aku takut membawa virus yang berakibat buruk buat mamak yang sudah kategori lansia. Apalagi mamak sudah rentan karena faktor usia dan penyakit tetapnya. Tapi waktu itu niat untuk tidak pulang kampung melemah karena telepon dari mamak yang kerap kali dari bulan November sampai Desember menjelang Natal, menanyakan tanggal kepastian kami untuk pulang kampung. 

  Bisa dibilang, saat itu merupakan saat paling lama kami berada di kampung. Hampir 2 minggu kami habiskan di sana, dan seperti ada pertanda, mamak juga beberapa kali menahan kami untuk pulang cepat. Mungkin mamak sudah punya firasat akan kepergiannya. Aku cuma ingat kalau mamak lebih pendiam dari biasanya. Waktu itu kupikir, mungkin karena mamak lelah dengan banyaknya orderan ketringnya yang selalu banyak, terutama di bulan Desember. Tidak pernah terpikirkan di benakku bahwa itu adalah saat terakhir aku akan bertemu mamak. 

  Setahun ini, aku belajar menerima kepergianmu dengan ikhlas walaupun hati terasa berat. Rasa kecewa, sedih, marah, semuanya bercampur aduk. Rasanya menyesal dan sedih karena tidak sempat berjumpa dengan mamak dalam keadaan seperti biasanya, sehat dan bisa diajak bicara seperti biasanya. Tapi kuyakin Tuhan lebih tau yang terbaik buat mamak. Tuhan lebih sayang kepada mamak, Dia tidak mau membiarkan mamak dalam keadaan koma berhari hari, berbulan, atau bahkan bertahun. Dia mau mamak lepas dari rasa sakit dan segala penderitaan fisik ataupun psikis, yang bisa timbul buat mamak ataupun keluarga yang merawat seandainya mamak tidak sadar sampai berbulan atau bertahun lamanya. 

  Berpikir tentang kebahagiaan mamak yang akhirnya bisa bertemu kembali dengan bapak yang sudah jauh lebih duluan dipanggil Tuhan, bisa membuatku merasa ikhlas. Akhirnya mamak dan bapak bisa bersama lagi di alam sana. Hanya dengan pemikiran seperti itu, setahun ini bisa kujalani sambil berusaha belajar untuk lebih ikhlas melepaskan 2 orang tuaku yg keduanya pergi mendadak, tanpa pesan apapun. Rasa sakit akibat kepergian mereka berdua masih terasa sekali. Kadang ketika rasa rindu muncul mendadak, aku cuma bisa pasrah berdoa kepada Yang Kuasa agar ikhlas menerima semua yang terjadi dengan lapang dada.

Medan, Maret 2023

Penulis : Jojor Martha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline