Lihat ke Halaman Asli

GUS EKO

Penulis lepas berbagai kebijakan publik

Di Balik Layar Kata Kita: Bahasa Identitas Bangsa

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13518731851517259757

Program talkshow Kompas TV Kata Kita membahas tentang penggunaan bahasa di masyarakat Indonesia. Sudahkah Anda bangga berbahasa?

[caption id="attachment_207204" align="alignleft" width="300" caption="Kata Kita membahas Bahasa Kita. Saatnya bangga berbahasa Indonesia."][/caption] Pernah dapat pesan pendek melalui telepon pintar seperti ini?

1928: Soempah Pemoeda

2000: Sumpah Pemuda

2010: Sump4h P3mud4

2012: Cumpaah? Miapaah?

Evolusi, atau bahkan revolusi, bahasa kita memang menarik. Itulah yang menjadi alasan Kata Kita KompasTV mengambil tema tentang bahasa. Episode kali ini mengundang tiga tamu istimewa, sastrawan sekaligus pakar etimologi alias ilmu asal-usul kata Remy Sylado, selebritis dan aktivis jejaring sosial Melanie Subono, serta Ketua Umum Wikimedia Indonesia Siska Doviana. Suasana lalu-lintas Jakarta Selatan yang tak bersahabat membuat pengambilan gambar di Mezzaluna & Puriartha Showroom, Kemang Raya, tertunda hampir dua jam. Butuh strategi tersendiri untuk membuat mood para narasumber terjaga di tengah macet nan membuat suntuk. Termasuk saya, yang kebagian peran menjemput Remy Sylado di Taman Ismail Marzuki. Pria bernama lahir Yapi Panda Abdiel Tambajong ini tercatat pernah menjadi wartawan, dosen, pegiat teater, penulis novel, pemain film, kritikus sastra, dan juga pemusik yang produktif mengeluarkan album. Nama pena Remy Sylado berasal dari angka 23761, notasi yang diambilnya dari chord pertama lirik lagu All My Loving karya The Beatles. “Itulah lagu pertama Beatles yang saya mainkan,” kata pria 67 tahun ini. Remy gemar sekali berpenampilan serba putih, mulai baju, ikat pinggang, sampai sepatu. Tentu, selain rambut putih yang menjadi ciri khasnya menjadi mudah dikenali saat ia mengirim pesan pendek, “Sy di depan XXI”. Tentang kebiasaannya berputih-putih ini, Remy tertawa lepas, “Ah, itu karena saya memang suka putih. Tapi, kalau di rumah, saya bisa pakai apa saja, kembang-kembang, jeans, atau kotak-kotak.” Hanya sepelemparan batu menuju Kemang, antrean mobil kian merayap. Remy Sylado ingat, ada yang kurang dari performa dirinya. “Kalau ketemu toko kecil, mampir dulu ya.” Maka, di kemacetan Jalan Bangka, ia melompat, masuk ke sebuah minimarket, dan keluar dengan membawa sebatang silet cukur. “Sudah lama saya tak membersihkan janggut,” katanya, lalu bersiul-siul riang setelah menyapu bagian dagu dan kumisnya.

Kegelisahan sang munsyi

[caption id="attachment_207205" align="alignright" width="300" caption="Timothy Marbun, pemandu Kata Kita. Membincangkan bahasa bersama tiga tamu"]

13518732171687508779

[/caption] Di restoran yang ditata jadi panggung dadakan, dipandu tuan rumah (ini padanan dari kata host) Kata Kita Timothy Marbun, Remy kembali jadi bintang. Ia memang Munsyi, ahli kalau bicara soal bahasa. Menurut Remy, dalam teks Proklamasi Kemerdekaan RI, hanya satu kata benar-benar bahasa Indonesia, yakni “yang”. Sisanya serapan dari kata dalam bahasa Inggris, Belanda, Sansekerta, Portugis, dan lain-lain. “Proklamasi sendiri berasal dari bahasa Belanda yakni proclamatie, bukan bahasa Inggris. Karena kalau ambil bahasa Inggris, yang dipakai proclamation,” kata penulis buku '9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing' ini. Buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia itu ditulis dengan nama samarannya yang lain, Alif Danya Munsyi. Melanie Subono diundang sebagai representasi anak muda, yang dianggap memberikan inspirasi melalui blog, maupun kicauan twitter kepada lebih dari 300 ribu pengikutnya. Tegas Melanie membantah penggunaan bahasa Indonesia membinasakan bahasa daerah. “Saya kira keduanya saling melengkapi,” katanya. Remy pun menimpali, dengan memberikan contoh beberapa kosa-kata bahasa daerah yang kini lazim dipakai dan dianggap sebagai bahasa Indonesia. “Kata patungan dan ngabuburit itu bahasa Sunda. Sementara kata baku tembak berasal dari kosa-kata bahasa Manado,” katanya. Sebaliknya, Remy mengaku sedih pada penggunaan bahasa asing yang kian merajalela di negeri ini. Menurutnya, kata-kata seperti busway, underpass, atau three in one harus segera dicari padanan katanya dalam bahasa Indonesia. “Mengapa sih pakai singkatan dalam bahasa asing? Apa itu JORR? Jalan Ora Rampung Rampung?” protesnya. Di tengah arus penggunaan bahasa Indonesia ‘gaul’ pada kasus-kasus tertentu, bahasa formal tetap harus jadi acuan utama. Seperti yang disepakati para relawan Wikimedia Indonesia, sebagai mitra lokal pengelola situs Wikipedia. “Kami berpatokan pada bahasa yang baku. Misalnya kami memilih menggunakan kata Cina, bukan China, dan penyandang cacat, bukan disabilitas, karena memang kata-kata itulah yang formal,” kata Siska Doviana. Membicarakan bahasa, yang sering disebut sebagai identitas sebuah bangsa, ternyata amat menarik dan tidak menjemukan. Selengkapnya, saksikan di Kata Kita Kompas TV, Selasa, 6 November 2012 pukul 22.00-23.00

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline