Memetik pelajaran dari proses pemilihan presiden Amerika Serikat.
[caption id="attachment_205771" align="alignleft" width="300" caption="Salah satu sesi debat capres AS. Show menarik karena kandidat saling serang."][/caption] Menyimak tiga seri debat kandidat presiden Amerika Serikat kali ini ibarat menyaksikan partai Grup G Liga Champions antara Barcelona melawan Glasgow Celtic. Barcelona diperankan calon petahana Obama, sementara Celtic bak Mitt Romney sang penantang. Kalah di sesi awal debat, namun menyalip Obama dengan dua gol kemenangan, mirip dengan heroisme kemenangan Barcelona yang unggul 2-1 atas Celtic di Nou Camp, Selasa (23/10). Ketinggalan satu gol di menit 18 melalui Georgios Samaras, kemudian disamakan Andres Iniesta di babak kedua, Barca akhirnya menang dramatis lewat sontekan Jordi Alba di menit keempat waktu tambahan.
Begitupun Obama, yang tampak keteteran pada debat pertama membahas topik kebijakan dalam negeri, terutama menyangkut buruknya kondisi perekonomian (3/10). Penampilannya disorot karena dianggap bermain terlalu defensif dan bergaya profesor nan cool, tak banyak bicara, namun sekalinya buka mulut menyodorkan angka-angka menjemukan. Jauh berbeda dengan penampilan meledak-ledaknya yang menyuarakan perubahan, berslogan “Yes, We Can” melawan John McCain pada pilpres 2008 silam. Beruntung, Obama belajar banyak dari kekurangannya, dan strike back pada debat kedua yang berformat townhall, bertema gabungan antara pandangan politik domestik dan internasional(16/10) serta debat terakhir bertopik mengenai kebijakan luar negeri (22/10).
Di luar urusan konten, setidaknya ada dua hal menarik dalam pelaksanaan debat presiden di AS. Pertama, debat selalu dilaksanakan di lingkungan kampus yakni debat pertama di University of Denver, Colorado, debat kedua di Hofstra University, Hempstead, New York, debat ketiga di Lynn University di Boca Raton, Florida, dan debat kandidat wapres antara Joe Biden melawan Paul Ryan di Centre College, Danville, Kentucky. Penyelenggara semua acara memang dipegang oleh Commission on Presidential Debate, namun plihan lokasi debat yang digelar di lingkungan kampus semakin menguatkan peran perguran tinggi sebagai pusat intelektual sebuah bangsa.
Sekadar mengingatkan, pada pilpres Indonesia 2009, debat resmi capres berlangsung tiga kali, masing-masing diselenggarakan Transcorp di Studio Trans TV, Metrotv di Studio Kedoya, dan RCTI di Balai Sarbini. Ditambah dua kali debat cawapres yang penyelenggaraannya dipegang SCTV di Studio Senayan City dan TV One di Hotel Bidakara.
Selain masalah tempat debat, hal menarik yakni mengenai moderator debat. Di sinilah kondisi kedua negara berbanding terbalik. Di AS, debat berlangsung di kampus dengan moderator jurnalis, editor, dan presenter televisi yang sangat dihormati reputasinya. Sebaliknya di Indonesia, debat berlangsung dengan Event Organizer dari pihak stasiun televisi, sementara pemandu debatnya dari kalangan kampus. Berturut-turut empat sesi debat capres dan cawapres AS dipandu Jim Lehrer (pengasuh acara NewsHour di televisi non-profit PBS), Martha Raddatz (Kepala Koresponden Luar Negeri ABC News), Candy Crowley (Kepala Koresponden Politik CNN), dan Bob Schieffer (host program Face the Nation di CBS). Para jurnalis televisi itu ditempatkan sebagai wakil publik yang dianggap memiliki kapasitas pengetahuan memadai, kritis, tapi juga diyakini netralitas dan independensinya. Khusus debat capres kedua di Hofstra University diformat dalam bentuk townhall, yang memungkinkan penonton –telah ditentukan langsung sebelumnya, bertanya langsung kepada Obama atau Romney.
Bandingkan dengan kelima seri debat capres dan cawapres Indonesia 2009 lalu. Meski digelar di kandang stasiun televisi, KPU justru menegaskan moderator debat bukan dari host terbaik masing-masing media, namun berasal dari kalangan perguruan tinggi. Mereka yang terpilih yakni Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan untuk debat capres bertema ‘Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih serta Menegakkan Supremasi Hukum’, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat pada debat cawapres bertopik ‘Pembangunan Jati Diri Bangsa’, Ekonom INDEF Aviliani untuk debat capres bertema ‘Mengentaskan Kemiskinan dan Pengangguran’, Ketua IDI Fahmi Idris pada debat cawapres bertopik ‘Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia’ dan Dekan Fisipol (kini rektor) UGM Pratikno untuk debat capres terakhir bertajuk ‘NKRI, Demokrasi, dan Otonomi Daerah’.
Bebas menyerang
Soal konten, tentu tak mudah untuk diterapkan di sini. Para kandidat bebas menyerang satu sama lain. Pada debat terakhir capres misalnya, Romney mengkritik buruknya kebijakan politik luar negeri AS, sehingga memungkinkan China mencuri tekologi dan hak kekayaan intelektual AS. “China memanipulasi kurs, menjual produk-produk murah ke pasar AS, dan tidak memiliki aturan bisnis yang fair,” kata Romney sebagaimana dilansir Kompas. Ia menuding China telah mencuri kesempatan kerja AS lewat serbuan ekspor ke AS, sehingga menyebabkan pengangguran tinggi. Romney menuduh Obama tidak cukup tegas menekan China.
Menanggapi kritikan itu, Obama justru menyindir fakta personal bahwa Romney sendiri melakukan investasi di China. Sebuah situs terkenal AS tentang politik, Huffington Post, Selasa (23/10), membeberkan investasi Romney di China lewat sebuah perusahaan yang dijuluki "blind trust". "Romney masih berinvestasi di perusahaan minyak China yang justru sedang melakukan bisnis dengan industri perminyakan Iran," kata Obama. China National Offshore Oil Corporation adalah perusahaan China yang dimaksudkan Obama.
Selain itu, masih ada setidaknya 10 perusahaan di China, di mana Romney melakukan investasi. Di antaranya New Oriental Education and Technology. Youku.com, Tencent Holdings, Hong Kong Exchanges and Clearing, Li & Fung Limited, dan Sensata Technologies Inc.
Empat seri debat capres dan cawapres AS telah selesai, sebagai sarana memberikan referensi kepada calon pemilih sebelum batas akhir pemilu pada 6 November mendatang. Setelah ketinggalan di seri awal debat, beberapa jajak pendapat menyebut Obama kini berbalik unggul. CBS mencatat Obama memimpin 53 versus 23 persen, CNN memasang keunggulan Obama 48 – 40 persen, sementara Reuters/Ipsos merilis angka 48 berbanding 33 persen.
Benarkah pemenang pilpres sudah diketahui sekarang? Atau bakal berakhir sedramatis Barca melawan Celtic yang baru diketahui pemenangnya di detik-detik terakhir laga?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H