Lihat ke Halaman Asli

Aku Ingin

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu pagi yang cerah."Panjul...timba air...!" teriak seorang bapak terhadap anaknya yang sedang asik mengincar gundu terakhir yang akan di sentilnya. "Iya...sebentar lagi..." sahut Panjul santun. Bletak....!! Tiba-tiba gayung sudah melayang dari dalam tepat mengenai kepala Panjul. Lalu sosok dengan potongan rambut cepak ala ABRI dengan sarung kotak-kotak yang sudah bolong menghampiri seraya menarik tangan Panjul dengan paksa. Seiring rasa terpaksa dalam hati Panjul karena gundu yang sudah ia incar harus terbengkalai tanpa terselesaikan. Saat sore menjelang."Panjul...buat kopi..." teriakan dengan suara berat yang sama seperti tadi pagi. "Iya...sebentar..." sahut Panjul santun seraya asik dengan komiknya yang lusuh yang tadi ia temukan di tempat sampah milik tetangga sebelah. Glepok...!! Gelas kaleng yang tipis dan sudah mulai karatan mendarat tepat lagi di kepala Panjul. Keluar lagi sosok yang sama tapi dengan tampilan yang beda. Masih dengan potongan rambut cepak ala ABRI tapi kali ini dengan balutan baju warna kuning bertuliskan SOR menjepit keras telinga Panjul. Seiring keinginan Panjul yang merasa terjepit penasaran dengan akhir dari komik yang sedang di bacanya. Saat malam menyeruak."Panjul...pijit bapak..." lagi-lagi teriakan dari suara yang sama mengganggu keasikan Panjul yang sedang memandang langit gelap malam yang pekat di teras yang cuma berlantaikan tanah merah becek habis hujan. "Iya...sebentar..." sahut Panjul masih dengan nada yang santun. Plak...!! Tangan yang tergenggam keras melebihi genggaman tangan Panjul mendarat lagi di atas kepala Panjul. Kali ini dengan sekali tarikan yang lebih kasar setengah mengangkat Panjul, memaksa Panjul untuk rela lagi meninggalkan keasikannya. Seiring dengan rasa yang mulai menggelap dalam hati Panjul.Brak...! Suara pintu yang reot di hempas keras. "Bletak...glepok...plak..." suara pukulan yang lagi-lagi harus mendarat di tubuh sosok Panjul yang kira-kira baru berusia 5 tahun."Ampun, pak..maaf, pak...jangan, pak..." teriak iba Panjul terhadap sosok yang di panggil bapak. Setelah lewat dari 15 menit, keluarlah sosok yang di sebut bapak oleh Panjul dengan seringai buas yang seakan puas sembari merapikan lagi sarung kotak-kotak yang sama seperti tadi sore. Meninggalkan Panjul yang tergolek tak berdaya di atas tikar usang beralaskan tanah merah juga. Dengan langkah tertatih dan mengangkang, Panjul keluar dari kamar seiring lelehan air mata dan seringai seakan ada sakit yang tiada tertahankan. Satu demi satu Panjul kumpulkan gundu yang tadi tertunda untuk dimainkan dan komik yang tadi juga tertunda untuk di baca. Panjul keluar dari ruangan untuk melanjutkan lagi keasikannya menatap langit gelap yang semakin pekat sepekat merahnya darah yang keluar dari dubur dan menempel di lantai tanah merah yang mulai mengering... Psssttt…read this :

“ Your children are not your children.

They are the sons and daughters of Life's longing for itself.

They come through you but not from you,

And though they are with you, yet they belong not to you.

You may give them your love but not your thoughts.

For they have their own thoughts.

You may house their bodies but not their souls,

For their souls dwell in the house of tomorrow, which you cannot visit, not even in your dreams.

You may strive to be like them, but seek not to make them like you.

For life goes not backward nor tarries with yesterday.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline