Lihat ke Halaman Asli

Dilarang Menabung !

Diperbarui: 26 Juni 2015   20:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak anak-anak hingga tua, sebenarnya kita tidak pernah terlepas dari masalah keuangan. Ketika saya sekolah di SD Strada Bekasi dulu, setiap hari rajin menabung di ibu guru. Ditulis di sebuah buku kecil dengan kolom tanggal. Rp, jumlah dan paraf bu guru. Ketika kenaikan kelas tiba, uang tabungan boleh diambil. Waktu itu, dari Rp 10 dan Rp 25 yang saya tabung kalau tidak salah terkumpul Rp 13.000 di akhir tahun ajaran. Saya lupa uang itu untuk membeli apa. Yang jelas, cara ini lebih aman dibanding dengan menabung di celengan ayam yang lubangnya bisa dikorek-korek dan uangnya dibelikan es atau permen yang lewat.

Langkah selanjutnya, ketika sudah terbiasa menabung di ibu guru, saya memberanikan diri bersama beberapa teman menabung di kantor pos yang berada di depan sekolah. Menggunakan buku tabungan bersampul coklat keemasan. Programnya kalau tidak salah Tapelpram. Tabungan Pelajar dan Pramuka. Senang rasanya mendengar suara cetok stempel besar dan berat milik pak pos yang ditibankan ke atas resi warna kuning di buku tanda saya telah menyimpan uang di sana.

Ketika SMP, setelah memiliki kartu anggota OSIS dan kartu pelajar, saya baru boleh menabung di bank sungguhan. Waktu itu saya juga bingung, kenapa jumlah uang yang saya tabung dimasukkan ke dalam kolom kredit. Padahal, bukankan kredit itu artinya utang ? Bagaimana perhitungan bunga ketika itu juga saya gak mudeng, apalagi jika dibandingkan dengan perhitungan inflasi….wuihhh……..jauhlah dari pikiran seorang anak SMP.

Lumayan juga susah memahami masalah menabung. Bertahun kemudian, menabung di sekolah menjadi awal yang baik bagi kebiasaan menabung saya.

Beberapa hari lalu, saya bertemu dengan kepala sekolah dari beberapa sekolah dasar. Dari mereka saya mendapatkan informasi bahwa di beberapa sekolah, menabung di ibu atau bapak guru telah dilarang. HAH ?! Rupanya para guru itu takut akan terseret-seret ke Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) jika menerima tabungan dari anak-anak didiknya. Takut dianggap menggelapkan uang. “Nanti hadiahnya Cipinang,” ujar seorang bapak guru mengacu pada lembaga pemasyarakatan di Cipinang.

Ternyata sepak terjang KPK sangat ditakuti hingga membuat bapak dan ibu guru memutuskan untuk tidak menerima tabungan anak-anak. Untuk anak kelas menengah yang sudah sering di bawa orang tuanya bertransaksi di bank mungkin keputusan itu tidak terlalu berpengaruh. Mereka dapat saja ke bank yang membuka rekening khusus untuk anak-anak dengan minimal tabungan beberapa ratus ribu atau beberapa puluh ribu rupiah.

Tetapi bagaimana dengan anak SD yang tidak seberuntung mereka. Bagaimana dengan anak SD yang hanya mampu menyisihkan uangnya sehari dalam jumlah kecil, Rp 100 atau Rp 500 seperti saya dahulu ? Di mana lagi tempat mereka untuk menampung receh-receh dari sebagian uang jajan yang mereka sisihkan ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline