Lihat ke Halaman Asli

Tidak Sekedar Hak dan Nasionalisme

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

KETIKA Titus Bonai akhirnya bergabung dengan tim nasional senior yang dipersiapkan ke Turnamen Al Nakbah, Palestina yang kemudian diikuti oleh Octovianus Maniani, segera jargon nasionalisme bergema dimana-mana. Diperkuat lagi tentang hak setiap pemain untuk membela timnas.

Mari kita lihat dengan kejernihan mata dan kata hati atas masalah itu. Bukan soal hak saja yang penting dalam hal ini tapi ada etika, fair play dan kewajiban yang melekat pada diri semua pihak entah itu pemain atau PSSI.  Di sini kita juga memutar sebagian sejarah yang telah terjadi dan mewarnai masalah keikutsertaan pemain dalam timnas.

Tibo adalah pemain Persipura dan Octo di Persiram Raja Empat, yang kedua klub ini belaga di Indonesia Super League (ISL). Kompetisi yang dinyatakan haram oleh PSSI hingga kini karena yang sah adalah yang mereka bentuk sendiri yaitu Indonesia Premier League (IPL) yang tak lain jelmaan dari Liga Prima Indonesia (LPI).

Sebagai catatan, LPI dibentuk di akhir era kepengurusan Nurdin Halid dan juga menjadi liga haram (breaking league), yang kemudian terhenti separuh musim meski sudah terdapat MoU antara Komite Nasional (KN) dengan LPI untuk dilanjutkan kembali usai Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI di Solo yang menelorkan kepengurusan Djohar Arifin saat ini. Adanya IPL ini kemudian menghasilkan klub-klub kloningan seperti Persija, Arema dan PSMS.

Akibatnya terjadi dualisme kompetisi yang memaksa FIFA memperingatkan PSSI untuk menyelesaikan masalah ini, dan jika tidak maka sanksi akan dijatuhkan. Peringatan itu diulang kembali dengan batas waktu 15 Juni 2012, kali ini tak hanya disebutkan soal dualisme kompetisi tapi juga dualisme kepengurusan, karena mayoritas anggota PSSI telah menyatakan mosi tidak percaya kepada Djohar Arifin dkk, diikuti dengan Kongres Luar Biasa (KLB) yang menghasilkan kepengurusan baru.

PSSI lalu mengharamkan pemain yang berlaga di ISL tidak bisa memperkuat Tim Nasional Indonesia, baik level senior maupun U-23.  Menurut Djohar, ia mengaku tak bisa berbuat banyak lantaran aturan tegas dari FIFA sebagai induk sepakbola dunia melarang pemain yang tidak berada di bawah naungan federasi.

"FIFA yang memperingatkan dan memberi teguran. Bukan Djohar ataupun PSSI. Dalam pertemuan kami dengan FIFA, mereka mengingatkan Pasal 79 Statuta FIFA. FIFA mengatakan, kalau Anda pakai pemain di luar kompetisi resmi, Anda akan kena denda," ujar Djohar kepada pers di Jakarta, 8 Desember 2011.

Maka yang terjadi kemudian adalah skuad timnas senior dihuni oleh para pemain IPL yang secara kualitas dan jam terbang masih di bawah punggawa lainnya yang berlaga di ISL. Indonesia dihancurkan 10-0 oleh Bahrain pada akhir Februari 2012 lalu dalam pada laga pemungkas kualifikasi Piala Dunia 2014 Zona Asia grup E, di Stadion Nasional, Manama, Bahrain. Tragedi memalukan ini menjadi lembaran hitam perjalanan sepakbola Indonesia sampai kapanpun.

Bukan Agenda FIFA

Penolakan klub-klub ISL untuk mengirimkan para pemainnya dalam timnas ke Turnamen Al Nakbah bukanlah tanpa alasan kuat. Untuk memanggil seorang pemain sebuah klub PSSI harus mengirim surat ke klub dan pemain yang bersangkutan. Meskipun Penanggungjawab Timnas, Bernard Limbong mengaku telah mengirim surat itu semua klub, tapi masih menjadi pertanyaan apakah benar telah dikirim ke semua klub ISL?.   Bila benar sudah dilakukan, menjadi menarik untuk mengetahui apa sebutan PSSI bagi klub yang telah dikloning seperti Persija, Arema dan PSMS?.

Klub juga bisa menolak permintaan itu jika timnas yang akan dibentuk ternyata tidak berlaga di turnamen atau kejuaraan yang bukan merupakan agenda FIFA, dan Turnamen Al Nakbah bukan termasuk di dalamnya. Turnamen ini bukan agenda resmi dari FIFA, melainkan bersifat invitasi. Turnamen diikuti delapan negara, yaitu Indonesia, Irak, Yordania, Mauretania, Pakistan, Sri Lanka, Tunisia, dan Uzbekistan.

Tak hanya klub ISL yang menolak pemainnya bergabung ke timnas, tapi juga dari IPL seperti Arema dan Persema dengan alasan teknis yaitu tenaga para pemainnya sangat dibutuhkan di tengah jadwal kompetisi yang sangat padat.

Bergabungnya Tibo dan Octo menghadirkan pertanyaan besar, apakah klub kedua pemain ini telah mengijinkan mereka untuk bergabung di timnas?.  Kalau merupakan keinginan pribadi, kenapa tidak dilakukan sejak awal pemanggilan oleh PSSI, tak perlu main kucing-kucingan dengan menghilang dari klubnya dengan berbagai alasan dan tahu-tahu muncul di pelatnas di Yogyakarta.

PSSI tidak bisa seenaknya membiarkan seorang pemain, sehebat apapun kemampuannya, untuk bergabung di timnas tanpa menunjukkan ijin dari klub yang sedang dibelanya. Ini menunjukkan sejauh mana PSSI menghormati klub tersebut yang telah berdarah-darah menghidupi dirinya sendiri.

Pemain bukanlah milik PSSI tapi klub yang telah mengontraknya dengan durasi tertentu, satu atau dua musim misalnya, dan mendapat gaji serta fasilitas lainnya. Meskipun pemain memiliki hak membela timnas, tapi klub berhak menolak permintaan federasi dengan alasan yang telah disebut di atas yaitu jika pembentukan timnas itu untuk mengikuti kejuaraan yang non agenda FIFA.

Fair Play

Pembiaran pemain ISL untuk kabur seenaknya dari klubnya jelas menunjukkan bahwa PSSI tidak hanya melanggar etika dan fair play tapi juga  melakukan politik adu domba antara pemain dan klubnya. Pemain seperti Tibo dan Patrich belum tentu bersalah, atau jika pun mereka benar-benar sadar melakukannya, berarti PSSI membiarkan masa depan keduanya habis di masa mendatang. Sesuatu yang makin menjauhkan dari apa yang disebut rekonsiliasi seperti yang diinginkan oleh FIFA dan AFC.

Kegeraman klub-klub ISL yang dirugikan oleh ulah pemainnya dan PSSI ini tak pelak kembali mengingatkan dengan apa yang terjadi pada Pelita Jaya ketika Diego Michiels dengan semau gue memutuskan kontraknya dengan alasan ingin membela timnas. Diego kemudian bergabung ke Persija versi IPL yang tak pernah diakui Jakmania dan tak pernah bermain sekalipun di Jakarta.

Pelita Jaya melayangkan gugatan terhadap tingkah laku Diego, dan sampai hari ini tak ada berita bagaimana kelanjutan aksi hukum ini?. Apakah ketidakjelasan perkara ini lalu dijadikan alasan oleh PSSI untuk bertindak seenaknya sendiri menggaet pemain tanpa seijin klubnya dengan alasan kepentingan timnas dan nasionalisme?.

Layak untuk ditunggu seperti apa langkah nyata dari Persipura dan Persiram yang pemainnya kabur seenaknya begitu saja. Tanpa sikap tegas apa yang dilakukan kedua pemain tersebut bisa menjadi preseden buruk di masa mendatang, dan akan membuat klub manapun dilecehkan oleh pemainnya karena dianggap pengecut.

Di balik soal nasionalisme, PSSI di bawah Djohar Arifin dan kawan-kawan kembali telah menorehkan catatan kelam dan muram dengan pemecahbelaan klub dan pemainnya, selain pelanggaran aspek etika dan fair play.

Fair play yang sebenarnya telah dimaknai sendiri oleh PSSI dalam peraturan organisasi yang masih berlaku hingga saat ini, seperti terdapat dalam Peraturan Organisasi PSSI tahun 2009 tentang Kode Etik dan Fair Play yang dengan tegas menyebutkan “ Kemenangan seharusnya dicapai dengan suatu sikap dan perbuatan yang jujur karena hasil yang didapat dengan mencurangi pihak yang menjadi lawan dalam suatu pertandingan akan tidak berarti apa-apa. Hanya orang-orang yang mempunyai keberanian dan karakter saja yang mampu bermain dan bersikap jujur. Bermain dengan jujur akan mendapatkan penghargaan tersendiri, meskipun kalah. Bermain dengan adil akan dihormati, sedangkan bemain dengan curang hanya mendapatkan rasa malu.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline