Ketika majalah Time menyoroti masalah tenaga kerja asal Indonesia (TKI) yang bekerja di Hongkong dalam versi online-nya edisi 15 Januari 2014, kita tentu tidak bangga mendapat liputan khusus dari majalah terkemuka itu. Perlakuan yang didapat para TKI itu disebut oleh Time bak bentuk perbudakan modern.
Pekerja rumah tangga asing, tulis Time, mulai marak di Hong Kong sejak tahun 1970-an, ketika ekonomi kota yang semula di bawah Inggris ini booming. Perempuan lokal memasuki angkatan kerja dalam skala besar dan urusan domestik diserahkan pada PRT asal Filipina, menyusul kemudian Indonesia dan Thailand. Kini setidaknya terdapat sekitar 300 ribu PRT di Hong Kong. Hampir seluruh TKW asal Indonesia, masuk ke sektor ini.
Saat media internasional itu menurunkan laporannya, kisah Erwiana Sulistyaningsih, TKI yang harus pulang ke Indonesia dengan mimpi buruk menjadi awal dari berita itu. Delapan bulan ia menjadi korban pemukulan oleh majikannya, hal yang membuat gadis 23 tahun ini cacat parah dan nyaris tak bisa dikenali. Tubuhnya menjadi kurus kering, wajahnya penuh bekas luka, dan geliginya tanggal. Kakinya menghitam dengan luka terbuka, bekas siraman air panas.
Munculnya sorotan dari Time tak serta merta mengetuk perasaan semua pihak, baik pemerintah Hongkong atau perusahaan tenaga kerja yang menjadi agen TKI untuk bergegas melakukan tindakan perbaikan. Peristiwa tragis kembali terjadi pada 24 Februari 2014, kali ini menimpa Anis Andriani, TKI asal Ponorogo yang berusia 28 tahun, yang dipotong jari manisnya oleh sang majikan. Ia baru bekerja selama lima hari.
Kisah Anis tak hanya menambah deretan angka yang jika mampu bercerita, pasti akan menghadirkan horor bagi pembacanya, tapi juga mencuatkan kembali sejauh mana kualitas dan bonafiditas Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang masih tetap menjamur.
Tak bisa dipungkiri selama ini PJTKI punya peran penting terkait dengan keberadaan TKI. Soalnya, mereka tak cuma mencari dan merekrut calon TKI, tapi juga membekali sampai calon TKI siap untuk diberangkatkan ke luar negeri.
Masalahnya, apakah pembekalan itu benar-benar sesuai dengan kebutuhan skill di negara tujuan sehingga TKI yang akan dikirim sudah siap. Dan tak hanya dalam hal skill saja yang harus diberikan tapi juga pengenalan budaya negara tersebut, terutama penguasaan bahasanya meski tak harus mahir atau fasih.
Kasus Anis menunjukkan hal itu. Ia selain tak bekerja sesuai dengan perjanjian (kontrak) yakni bertugas menjaga orangtua (ternyata hanya ada nyonya dan anak perempuan kelas 3 SMA, dan Anis malah disuruh untuk bersih-bersih rumah, memasak, belanja, dan menjaga anjing), juga ia tak paham bahasa Kanton. Akibat anjing menggonggong, nyonya itu bicara dengan kalimat yang tak dipahami Anis, berakibat ia marah dan memotong jarinya.
Anis Andrian mulai bekerja di Hong Kong pada (17/02/2014), diberangkatkan oleh PT Bumi Mas Katong Besari Ponorogo dan disalurkan oleh agen Sun Light di Nort Point. Anis mulai masuk ke rumah majikan tanggal (19/02) dengan kondisi paspor dan kontrak kerja dibawa oleh Agen.
Sesuai yang tercantum dalam kontrak, Anis akan digaji HK$ 4010 dengan potongan agen sebesar HK$ 2543 selama 6 bulan. Agen bilang ke Anis bahwa kerja 4 bulan pertama tidak boleh libur dan sama sekali dan tak diberi tahu tentang hak-hak apa saja sebagai pekerja migran rumah tangga di Hong Kong. Ia tidur larut pukul 1.30 malam dan bangun tidur pukul 06.00 pagi.
Ironisnya, setelah peristiwa pemotongan jari Anis itu terjadi, dan ia menghubungi agen sesuai anjuran temannya, agen itu malah menyurunyah untuk tetap bertahan di rumah majikan. Pertolongan justeru datang dari petugas security dan rumah sakit, yang kemudian membawa Anis ke rumah sakit Queen Mary, Pok Fu Lam, Hong Kong.
Kasus ini merupakan pekerjaan rumah lain bagi pemerintah, yakni bagaimana bersikap tegas terhadap PJTKI nakal seperti PT Bumi Mas Katong Besari Ponogoro itu dalam melindungi TKI yang dikirimnya ke Hongkong. Ketidaksesuaian bidang pekerjaan Anis sudah merupakan pelanggaran tersendiri, selain tak adanya bekal berbahasa.
Jika perlu, pemerintah menutup ijin operasional PJTKI yang berlaku sewenang-wenang seperti itu, yang tidak memberikan perlindungan maksimal terhadap TKI. Tak Cuma berupa lips service saja, tapi mengumumkan di media massa nasional dan daerah, memasang pengumuman di lembaga-lembaga pemerintah tentang skorsing itu.
Dualisme
Tak hanya itu, persoalan dualisme pelayanan penempatan dan perlindungan TKI yang tak berkesudahan atnara Badan Nsional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan Kemenakertrans yang jelas berdampak pada PJTKI serta berujung pada TKI sendiri. Padahal keberadaan BNP2TKI sendiri sudah jelas untuk penanganan TKI, dengan kepala BNP2TKI yang selevel dengan menteri.
Dualisme itu sudah berlangsung lama, meski pada 2010 sudah coba diselesaikan dengan keluarnya Inpres No.3 tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan. Namun tak mempan juga, Kemenakertrans melalui Ditjen Binapenta tetap berjalan sendiri soal penemaptan TKI. Kasus yang juga pernah dibahas di rapat dengan Komisi IX DPR pada 1 Februari 2010, tapi tetap juga tak menuyelesaikan dualisme yang ada.
Ketika pada Desember 2013 lalu Kemenakertrans menjatuhkan sk orsing berupa pembekuan selama 3 bulan kepada 213 PJTKI, masalah dualisme itu juga kembali mengemuka. Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Himsataki) mengemukakan, banyak TKI yang tak bisa diproses pengirimannya keluar negeri. Ketika hal itu disampaikan ke BNP2TKI, keluar ijin pengiriman TKI ke Persatuan Emirat Arab (PEA) pada November 2013. Ketika proses pengiriman berlangsung, PJTKI dipanggil oleh Ditjen Binapenta dan dituduh melakukan trafficking.
Berbagai persoalan itu tak bisa lagi didiamkan oleh pemerintah, karena menyangkut kehormatan anak bangsa, hak untuk mendapat perlindungan hukum dan keberanian bersikap. TKI tak bisa terus menerus jadi komoditi penghasil devisa yang tak mendapat perlindungan layak.
Salah satu keberanian yang dituntut untuk bisa terwujud adalah bagaimana menyelesaikan dualisme penyempatan TKI di luar negeri, dan mengembalikan kewenangan itu kepada BNP2TKI yang dibentuk sesuai amanat UU No.39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H