Lihat ke Halaman Asli

Usai Lulus UN, Anak Petani Hanya Bisa Menangis

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13707090821111554465

[caption id="attachment_266390" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS)"][/caption]

Usai Ujian Nasional (UN), setiap anak sekolah dan orang masing – masing tentunya sudah mulai berpikir untuk melanjutkan pendidikan. Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak telah dibuka seluas – luasnya oleh pemerintah dengan berbagai kebijakan. Tujuannya demi mencerdaskan kehidupan anak bangsa ini.

Lulus dengan nilai yang sempurna atau rata – rata adalah urusan ke sekian. Tak jarang seorang anak yang tidak lulus, akan menempuh cara lain (ujian susulan dan paket) untuk bisa melanggeng ke tingkat pendidikan selanjutnya. Seragam merah putih akan segera diganti dengan putih biru. Baju putih dan celana atau rok biru, akan segera diganti dengan putih abu – abu pada tahun ajaran baru. Mengenakan seragam baru selalu menjadi kerinduan setiap anak yang berganti status dari murid Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi (PT).

Setiap tahun ajaran baru, banyak orang akan berlomba – lomba untuk masuk sekolah demi mengejar dan mewujudkan cita dan asanya masing – masing. Dukung keluarga dan orang terdekat sebagai spirit selalu ikut menyertai mereka berupa materi maupun moril. Namun hal ini tidak berlaku bagi Marlina Hana Rahik (17) yang bercita – cita menjadi seorang guru matematika.

Sejak duduk di bangku kelas satu SMP Satu Atap (Satap) Langira, Desa Katikuwai, Kecamatan Matawai La Pawu, Kabupaten Sumba Timur, dirinya sudah tertarik dan mencintai Matematika.  pada mata pelajaran yang tidak terlalu diminati kebanyakan orang ini. Dirinya selalu unggul dan dan menjadi bintang kelas pada mata pelajaran yang kurang diminati kebanykan orang ini.

Lahir dan dibesarkan dalam keterbatasan, dirinya tumbuh dan berkembang menjadi anak desa di lereng Gunung Wangga Meti yang tidak kenal lelah. Setiap hari selalu dilalui dengan berbagai perjuangan untuk menakluk tantang dan tidak mau menyerah dengan keadaan. Menaklukan jarak 10 kilo meter, untuk mencapai lokasi sekolah dengan berjalan kaki setiap hari adalah salah satu bukti perjuangannya.

Tidak sebatas situ saja perjuangan untuk melewati hari – harinya sebagai anak sekolah. Usai jam sekolah dan kembali ke rumah, dirinya tidak memiliki waktu luang untuk bermain ataupun  belajar. Setumpuk pekerkaan yang menjadi tugasnya untuk membantu orang tua sudah menanti di rumah. Mulai dari menjaga empat orang adik tiri hingga membantu sang ibu tirinya di dapur harus dilakoninya. “Setiap malam itu baru ada waktu untuk belajar dengan lampu pelita di dalam kamar sebelum tidur,” kisah anak yatim ini saat ditemui di rumah ayah dan ibu tirinya, Selasa (4/6/2013).

Di Dusun Matawai Patataku, Desa Katikuwai, Kecamatan Matawai La Pawu, Kabupaten Sumba Timur, 6 Maret 1996, Marlin demikian sapaan akrabya lahirkan sebagai gadis desa. Saat menempati bangku sekolah dasar, ibunya Almh. Maria Lika Nggoji berpulang menghadap Sang Pencipta. Selanjutnya, ayahnya Musa Punda Mandang (53) menikahi Antonia Lika Nggoji (45), adik kandung almh. sang ibundanya Marlin.

Hidup dengan nasib anak yang memiliki seorang ibu tirinya tentunya seperti kebanyakan anak pada umumnya. Raut wajahnya berubah seketika, tetesan kristal dari dua bola matanya yang bulat terus mengalir. Tak sanggup dibendungnya isak tangis mengenang cita – citanya yang sudah pupus dan tidak mungkin dikejarnya lagi.

“Kemarin (Senin, 3/6/2013), Saya sangat bahagia waktu pengumuman di sekolah itu, katanya Saya yang terbaik di Sumba Timur. Saya adalah satu – satunya yang lulus dengan nilai 10 untuk Matematika pada UN. Saya ingin menjadi guru matematika, makanya selama ini giat belajar untuk bisa dapat nilai 10 waktu UN. Tapi saya tidak bisa buat apa – apa lagi sekarang, karena bapak tidak ada uang,” kata – kata itu dihiasi isak tak tangisnya itu membuat sang ayah yang bekerja sebagai petani bersama ibu tirinya ikut meneteskan air mata.

Ditengah suasana yang haru itu, Kepala Sekolah (Kepsek) SMP Satap Langira, Jemi D.  Paanggalungu, S.pd, mengatakan, salah satu anak desa tersebut memiliki kemampuan khusus di bidang studi matematika. “Kami dari pihak sekolah juga ikut merasa sedih dengan nasib anak cerdas seperti ini. Sayangnya tidak bisa melanjutkan pendidikan karena factor ekonomi. Kami hanya bisa berharap, anak ini bisa mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya,” kata Paanggalungu.

Di negeri ini, tentunya masih ada dan banyak sekali Marlin yang lain. Mereka memiliki semangat belajar. Menjadi anak cerdas di kelas, namun asa cita – cita mereka akan dikubur dalam – dalam tatkala masalah ekonomi mulai menghampiri. Semoga goresan ini bermanfaat dan memotivasi anak – anak yang bernasib baik.(*) [caption id="attachment_266331" align="aligncenter" width="398" caption="Marlina Hana Rahik (17), Siswi SMP Satu Atap (Satap) Langira, Desa Katikuwai, Kecamatan Matawai La Pawu, Kabupaten Sumba Timur, tidak bisa mewujudkan cita- cita menjadi guru matematika karena masalah ekonomi. "]

13706936861739524610

[/caption]



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline