Lihat ke Halaman Asli

John Lobo

Pegiat Literasi dan Penggagas Gerakan Katakan dengan Buku

Gila Belanja Menjelang Hari Raya Keagamaan

Diperbarui: 20 Mei 2022   06:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Naskah hasil tulis tangan (dok. pribadi)

Oleh : John Lobo

Menjelang penghujung bulan puasa Ramadhan, beberapa kawasan perdagangan di kota-kota besar seringkali terjadi kemacetan lalu lintas dan penumpukkan manusia. Realita ini tentu membawa keuntungan yang berlipat ganda bagi para pemilik Mall, Swalayan, dan pedagang lainnya.

Masyarakat dari berbagi lapisan sosial seolah-olah terhipnotis untuk memaksa dirinya membeli produk dengan merek tertentu agar dibilang modis, keren, lebih percaya diri, dikagumi, cool, up to date, dan lain-lain. Realitas ini sepertinya menjawab sebuah adagium bahwa manusia tidak memiliki tingkat kepuasan yang defenitif.

Lewat kemajuan media digital manusia digiring untuk mengonsumsi sejumlah produk. Berbagai produk yang ditawarkan itu, dikemas dalam bentuk yang sangat menggoda sehingga siapapun pasti terseret untuk memilikinya. Andaikan tidak tahan uji bakal jadi korban demi memenangkan kompetisi gaya hidup.

Bulan puasa yang sejatinya dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk menarik diri dari hingar bingar hal-hal duniawi dan diajak sejenak untuk merenung perihal bagaimana susahnya mendapatkan uang namun justru memanfaatkannya menjadi momentum untuk memenuhi logika hasrat dan keinginan (ketimbang logika kebutuhan.

Gaya hidup boros atau konsumerisme adalah budaya yang ditopang oleh proses penciptaan terus menerus lewat penggunaan citra, tanda dan makna simbolik dalam proses konsumsi. Kebiasaan ini rupanya menjadi pola hidup masyarakat yang secara sadar atau tidak telah menjebak mereka dalam memakanai hari besar keagamaan secara dangkal. 

Bukan peningkatan kapasitas rohani dan sosial yang ditonjolkan tetapi budaya belanja. Mampukah Masyarakat melepaskan belenggu konsumtif untuk mencapai hakikat jati diri yang sesungguhnya ?.Sebagai ciptaan yang secitra dengan Tuhan keberadaan manusia adalah rekan kerja-Nya untuk menyempurnakan semua yang ada di muka ini menjadi lebih baik melalui usaha produktif bukan konsumtif.

Budaya belanja yang semakin merajalela merupakan bentuk pengkhianatan terhadap tuturan bijak bahwa kekayaan tidak terdiri dari memiliki harta benda yang banyak namun memiliki sedikit keinginan untuk membeli sesuatu.

Sangat mudah menakar seseorang itu terjebak dalam budaya gila belanja atau tidak. Hal ini bisa dilihat dari kehidupan para konsumen yang merasa kebingungan setelah membeli sebuah produk tertentu. Karena sering kali, ketika membeli sesuatu tidak didasari pertimbangan yang matang, sehingga manfaat dan kegunaan dipertanyakan kembali setelah produk tertentu sudah dibeli.

Manusia yang gila belanja menjadi sosok materialisme tak berjiwa. Artinya mereka membangun dirinya seperti mendirikan istana diatas pasir yakni terlihat berada secara materi sementara keropos dalam kehidupan rohani. Mereka menjadikan materi sebagai sumber kebahagiaan bukan sebagai sarana mencapai tujuan sebuah kehidupan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline