Pada medio 2018 dalam perjalanan pulang dari Magelang ke Jogja, aku menaiki bus mini jurusan Semarang-Jogja. Tak berapa lama aku duduk, bus penuh sesak karena lonjakan penumpang. Puanas dan puenuh.
Mau tidak mau, ada yang harus rela berdiri. Beruntungah aku memperoleh tempat duduk yang nyaman di dekat jendela.
Seorang gadis usia kerja berdiri di sampingku. Hatiku bergejolak (bukan karena dia cantik, meski lumayan juga sih. Hehehe) ketika melihatnya berdiri sambil bermain handphone. Sebenarnya, aku ingin memberikan kursi yang kududuki, tetapi aku bersitegang dengan kondisi tubuh.
Sejak tadi aku kebelet kencing, sehingga posisi duduk adalah yang terbaik sambil paha kuposisikan rapat-rapat. Apa jadinya jika aku memberikan kursi ini? Jangan-jangan HIV-ku (Hasrat Ingin Vivis) ini semakin menjadi-jadi. Itulah kilahku menanggapi hati yang bergejolak deg-deg ser.
Tak lama kemudian, seorang mas-mas di seberang kursiku beranjak dari kursinya. Ia mempersilahkan si gadis duduk. Bukannya diterima, si gadis malah menolak dan mempersilakan seorang ibu paruh baya untuk duduk. "Monggo bu, lenggah mriki" yang artinya "Silakan bu, duduk di sini", tawar gadis itu. "Matur nuwun, nggih, Mbak", ibu itu membalas kebaikan gadis itu dengan segurat senyum.
Pemandangan itu membuatku terpana sekaligus terusik. Kesempatan untuk berbuat baik hangus, pikirku. Selang beberapa saat, bus semakin ramai dan sesak penumpang. Rupanya, kesempatan kedua datang menghampiriku. Seorang ibu tua yang baru masuk terpaksa berdiri. Kesempatan ini tidak kusia-siakan.
Aku pun sat-set beranjak dari kursi dan menawarkan kursi meskipun HIV-ku semakin tak karuan. Kalau dalam serial Ultraman udah bunyi tuh lampunya. Ting-Tung-Ting-Tung.
Ibu itu pun dengan senang hati menerima kursi yang aku tawarkan kepadanya. Aku berusaha berdiri dengan sisa daya yang ada. Gemeteran sekali kaki ini. Sekali lagi, paha aku rapatkan dengan posisi yang kali ini berbeda: berdiri dengan kaki menyilang. Syukurlah, aku berdiri hanya sebentar, karena banyak penumpang turun di terminal Jombor. Ternyata Tuhan paham kondisiku.
Ternyata kebaikan yang sederhana bisa sungguh berarti. Kebaikan itu terwujud dari kemauan memberi kursi seperti gadis dan mas-mas tadi. Kebaikan yang mampu menuai senyum dan syukur.
Bagiku, hati yang terusik dan bergejolak adalah sirine dari-Nya untuk berbagi meski pada kenyataannya aku mesti bertarung dengan diri sendiri. Sirine itulah yang menguji niat dan keikhlasanku.