Lihat ke Halaman Asli

Kei Kurnia

Penulis Lepas

Merayakan Kematian

Diperbarui: 20 Mei 2022   10:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto oleh Mikhail Nilov dari Pexels 

Kematian datang tak terduga. Senyap. Kematian bisa datang kapan saja seperti maling di siang bolong. Siap tidak siap dia mengintai kita kapan pun dan di mana pun.

Tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti siapa pun. Bukan pula mengerdilkan semangat hidup seseorang (mungkin kamu)  yang baru berkobar demi menggapai cita-cita maupun mimpi membahagiakan orang tercinta.

Tulisan ini ada untuk berjaga-jaga. Dilalah (jika tiba-tiba) kematian datang kepada kita dan engga memberikan tanda-tanda, apakah kita sudah siap dan mampu menerima? Bisa saja kan? Siapa yang tahu coba?

Judul di atas rasanya aneh bagi orang awam. Pun bagi saya. Ha-ha-ha. Pada umumnya orang-orang merayakan kelahiran sebagai momen bahagia datangnya manusia baru di muka bumi. Itu biasa dan memang patut dirayakan. Lha, ini kan kehilangan seseorang dari dunia yang fana, kok malah dirayakan?

Umumnya kita bersedih, nangis ditinggal pergi selamanya. Kita tidak mau kehilangan seseorang tersayang yang memiliki ikatan selama kita hidup. Namun, faktanya kematian itu ada dan nyata. 

Kita tidak bisa menampik kenyataan pahit. Kita maunya yang manis-manis saja. Intinya hidup harus bahagia. Kalau bisa ya nggak usah ada kematian. Kalau memungkinkan hidup abadi pasti jadi keinginan banyak orang, termasuk kita.

Kematian merupakan salah satu fase hidup manusia yang akan kita lalui. Setelah melampaui tahun-tahun berada di dunia ini kita akan menghadapi kematian. Entah ketika kita tua nanti atau bisa saja saat kita masih berjaya pada masa muda. Segala pencapaian dan kepemilikan semuanya akan luruh. Tidak ada yang bisa kita bawa kecuali tabungan amal baik dan atau kantong dosa-dosa.

Berbicara soal kematian, aku teringat kejadian 5 bulan lalu. Sebuah kabar makjegagik (kabar kaget) menggetarkan chat sekaligus tanganku. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala sambil misuh halus (tidak terdengar orang lain). Sahabatku sejak TK meninggal dunia. Sebut saja W. Ia kecelakaan ketika berangkat kerja ke kantornya. 

W adalah seorang pegawai bea cukai di Semarang yang bisa dibilang sudah sukses secara materi bila dibandingkan teman sebayanya. Sebuah bangunan berupa kos-kosan resmi ia beli, tetapi bukan untuk dirinya sendiri. Ia membeli itu untuk orangtuanya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline