Lihat ke Halaman Asli

CATATAN ATAS PUTUSAN PRAPERADILAN KOMJEN. POL. BUDI GUNAWAN

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak begitu jelas, praperadilan yang diajukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan, Calon Kapolri yang merupakan Tersangka di KPK, apakah terhadap sah atau tidaknya penyidikan atau sah atau tidaknya penetapan tersangka. Namun terlepas dari hal tersebut, proses persidangan praperadilan dimaksud telah usai, yang mana amar putusannya kurang lebih berbunyi:


  • Menyatakan surat perintah penyidikan yang menetapkan Komjen. Pol. Budi Gunawan sebagai tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasar oleh hukum dan oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  • Menyatakan penyidikan yang dilakukan oleh Termohon terhadap diri Pemohon adalah tidak sah dan tidak berdasar oleh hukum;
  • Menyatakan penetapan tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah;
  • Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan lebih lanjut yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan Tersangka oleh Termohon;

Dari amar di atas, muncul suatu pertanyaan dalam benak penulis, yaitu bagaimana caranya mengeksekusi putusan praperadilan tersebut? Sebab salah satu amarnya berbunyi “Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan lebih lanjut yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan Tersangka oleh Termohon”. Artinya, jika sudah tidak ada lagi upaya hukum terhadap putusan dimaksud, maka segala keputusan yang akan ditempuh oleh KPK terkait dengan status tersangka yang disandang oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan, termasuk dalam rangka upaya supaya perkara tersebut dapat selesai (dalam pengertian bukan menghentikan penyidikan, sebab KPK tidak diberi wewenang oleh UU untuk menerbitkan penghentian penyidikan) adalah tidak sah. Penulis sendiri masih belum bisa membayangkan konstruksi hukum yang akan dipakai oleh KPK untuk menghentikan perkara ini karena KPK itu sendiri tidak diberi wewenang untuk menghentikan suatu penyidikan.

Adapun menurut pandangan Penulis, amar putusan Pra Peradilan atas perkara a quo adalah putusan yang non-executable karena tidak berlandaskan hukum, Penulis juga mencatat pertimbangan hukum yang menghasilkan amar di atas yang patut untuk dipertanyaan, yaitu pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan a quo (terlepas dari apakah terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka atau sah atau tidaknya penyidikan), dan yang kedua, pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa pemohon (Komjen. Pol. Budi Gunawan) bukan merupakan subyek hukum pelaku tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan termohon (KPK), karena pemohon bukan termasuk aparat penegak hukum, dan bukan termasuk juga sebagai penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c jo. Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), sebab jabatan pemohon pada saat tindak pidana yang disangkakan diduga dilakukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan, bukan dalam jabatan dalam rangka melaksanakan penegakan hukum, namun dalam rangka menjalankan fungsi administrative dan juga pada saat tindak pidana yang disangkakan tersebut diduga dilakukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan, ternyata Komjen. Pol. Budi Gunawan belum termasuk pejabat eselon 1, sehingga bukan merupakan penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 TentangPenyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme (UU Penyelenggara Negara), serta tindak pidana yang diduga dilakukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan bukan termasuk tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan Negara, namun merupakan tindak pidana korupsi penyalanggunaan kekuasaan atau kewenangan.

Mengenai kompetensi dari Pra Peradilan

Yang pertama, sah atau tidaknya penyidikan atau sah atau tidaknya penetapan tersangka, menurut penulis, berdasarkan hukum yang berlaku saat ini, bukanlah merupakan obyek praperadilan. Kewenangan hakim praperadilan mengenai obyek perkara yang menjadi wewenang praperadilan, diatur dalam Pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berbunyi:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang:

a.Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

b.Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan

Dari ketentuan ini, dapat diklasifikasikan dua alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan praperadilan, yaitu, yang pertama, sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, dan yang kedua, mengenai ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat dari penghentian penyidikan atau penuntutan. Pertanyaannya sekarang, apakah diluar kedua alasan praperadilan di atas, masih dimungkinkan adanya alasan praperadilan yang lain, seperti sah atau tidaknya penyidikan atau sah atau tidaknya penetapan tersangka sebagaimana obyek praperadilan dalam perkara praperadilan yang diajukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan ini ?

Perlu untuk diketahuibahwa sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak sama seperti sistem hukum Anglo-Saxon yang menganut aliran freie rechtslehre, yang memperbolehkan hakim untuk menciptakan hukum (judge made law).Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 20 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie(AB –AB masih berlaku sepanjang belum dicabut secara tegas oleh UU berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945--), yang menyatakan:

Hakim harus mengadili berdasarkan Undang-Undang

Hal ini berarti, bahwa dalam hukum yang berlaku di Indonesia, hakim dilarang menafsirkan lebih dari yang seharusnya jika sudah jelas pengaturannya. Namun bukan berarti hakim menjadi tidak bebas dalam menjalankan kewenangannya, hakim tetap bebas sepanjang tidak melanggar ketentuan yang ada. Hakim diperkenankan untuk menafsirkan lebih luas suatu peraturan dikala peraturan tersebut tidak jelas maksudnya atau hakim diperkenankan untuk membuat suatu kaidah hukum disaat terjadi kekosongan hukum, karena pada hakekatnya, hakim dilarang menolak perkara dengan alasan tidak ada hukumnya.

Oleh karenanya, dalam perkara praperadilan yang diajukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan, pendapat hakim praperadilan yang menyatakan bahwa mengenai permohonan yang diajukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan mengenai penetapan tersangka tidak diatur dalam KUHAP, sehingga terjadi kekosongan hukum adalah pertimbangan yang salah tafsir menurut hemat penulis. Dalam putusan praperadilan tersebut, hakim mengakui bahwa permohonan praperadilan yang diajukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan berkaitan erat dengan penyidikan karena hakim seakan-akan menempatkan bahwa penetapan tersangka merupakan bagian dari penyidikan, sehingga harus dianggap sebagai upaya penyidikan, hal tersebut juga kelihatan dari amar putusan praperadilan tersebut, yang berbunyi:

Bahwa penyidikan yang dilakukan oleh termohon...dst.

Jika memang pola berpikir hakim demikian, maka seharusnya ia harus menyadari bahwa selaku hakim, ia terikat dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu positivisme hukum,bukan sistem hukum Negara lain yang secara teori akademis menjadi salah bagian ilmu yang dipelajari. Dengan menyebutkan klausa “...penyidikan yang dilakukan oleh termohon...” dalam amar putusannya, artinya hakim mengakui bahwa yang dimohonkan untuk diuji keabsahannya adalah sah atau tidaknya penyidikan, sehingga seharusnya hakim tidak memiliki alasan untuk menyatakan permohonan tersebut belum diatur, karena mengenai praperadilan yang berkaitan dengan penyidikan telah diatur dalam Pasal 77 KUHAP, yaitu mengatur hanya tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan, sehingga, dengan memperhatikan cara berpikir hakim seperti yang telah penulis kemukakan di atas, maka seharusnya hakim tidak menafsirkan lebih dari yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP ini, sebab ketentuan ini menurut hemat penulis bukan aturan yang multi tafsir, oleh karenanya, penulis dapat memahami, disaat para ahli hukum menyatakan bahwa obyek atau alasan praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP bersifat limitative.

Hakim dalam membuat pertimbangannya yang menyatakan permohonan praperadilan Komjen. Pol. Budi Gunawan belum diatur dalam UU, dan oleh karenanya ia berpendapat bahwa alasan atau obyek permohonan tersebut merupakan obyek praperadilan, adalah cara pandang yang keliru menurut penulis, karena mengenai praperadilan sudah diatur dalam Bab X bagian kesatu Pasal 77-Pasal 83 KUHAP mengenai Praperadilan, yang pengaturannya bersifat limitative tentang pengujian terhadap sah atau tidaknya penghentian penyidikan.

Mengenai definisi “Penegak Hukum” dan “Penyelenggara Negara”

Yang kedua, pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa Komjen. Pol. Budi Gunawan bukan merupakan subyek hukum pelaku tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan termohon (KPK), karena Komjen. Pol. Budi Gunawan bukan termasuk aparat penegak hukum, dan bukan termasuk juga sebagai penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c jo. Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), sebab jabatan Komjen. Pol. Budi Gunawan pada saat tindak pidana yang disangkakan diduga dilakukan, bukan dalam jabatan dalam rangka melaksanakan fungsi penegakan hukum, namun dalam rangka menjalankan fungsi administrative dan juga pada saat tindak pidana yang disangkakan tersebut diduga dilakukan, ternyata Komjen. Pol. Budi Gunawan belum termasuk pejabat eselon 1, sehingga bukan merupakan penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 TentangPenyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme (UU Penyelenggara Negara), serta tindak pidana yang diduga dilakukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan bukan termasuk tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan Negara, namun merupakan tindak pidana korupsi penyalanggunaan kekuasaan atau kewenangan.

Dari pertimbangan di atas, dapat dipetakan beberapa permasalahan yang perlu untuk ditelaah, yaitu apakah benar Komjen. Pol. Budi Gunawan, pada waktu tindak pidana yang diduga dilakukannya, ia bukan merupakan aparat penegak hukum sebagaimana dimaksud dalam UU? apakah benar Komjen. Pol. Budi Gunawan, pada waktu tindak pidana yang diduga dilakukannya, ia bukan merupakan penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam UU?

Ketentuan Pasal 6 huruf c jo. Pasal 11 UU KPK, yang berbunyi:

Pasal 6 huruf c UU KPK, menyebutkan:

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi

Pasal 11 UU KPK, menyebutkan:

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :

a.Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b.Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

c.Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

Mensyaratkan bahwa KPK hanya berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi terhadap aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara atau orang yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Tidak semua perkara korupsi dapat ditangani oleh KPK.

Pertanyaannya, apakah Komjen. Pol. Budi Gunawan, pada saat ia diduga melakukan tindak pidana, ia merupakan aparat penegak hukum atau bukan?

Menjawab pertanyaan ini, hakim memberikan pertimbangan bahwa UU tidak memberikan pengertian secara jelas mengenai apa yang dimaksud dengan aparat penegak hukum. Namun secara harafiah, hakim menafsirkan bahwa yang dimaksud aparat penegak hukum adalah penyelidik, penyidik, jaksa, penuntut umum dan hakim, sementara Komjen. Pol. Budi Gunawan pada waktu ia diduga melakukan tindak pidana, ia merupakan seorang Polisi yang berpangkat Kombes, yang mengisi jabatan Karobinkar (Kepala Biro Pembinaan Karir) Mabes Polri, yang menurut Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja KepolisianNegara Republik Indonesia jo. Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/53/X/2002, tanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan-satuan Organisasi Pada Tingkat Markas Besar KepolisianNegara Republik Indonesia dan perubahannya, jabatan tersebut merupakan pelaksana tugas staff administrasi di lingkungan Mabes Polri, bukan merupakan bagian dari penyelidik ataupun penyidik, sehingga Komjen. Pol. Budi Gunawan pada waktu itu bukan merupakan aparat penegak hukum sebagaimana pengertian secara harafiah yang dimaksud hakim tersebut.

Memang, Pasal 11 UU KPK maupun Penjelasan Pasal 11 UU KPK, tidak memberi penjelasan mengenai kualifikasi aparat penegak hukum. Namun harusnya hakim memberikan penafsiran secara harafiah yang sesungguhnya dengan literature yang ada, tanpa menafsirkan sendiri. Penulis mencoba mencari pengertian dari berbagai macam literature, salah satunya yang penulis temukan adalah istilah panca wangsa dari buku yang ditulis oleh DR. Lilik Mulyadi, S.H., M.H., pada tahun 2008, yang berjudul Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis dan Praktik, Penerbit Alumni, Bandung, Hal.7, yang menyebutkan:

Sebagaimana diketahui bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia mengenal 5 (lima) institusi sub sistem peradilan pidana sebagai Panca Wangsa penegak hukum, yaitu Lembaga Kepolisian (UU No. 2 Tahun 2002), Kejaksaan (UU No. 16 Tahun 2004), Peradilan (UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986), Lembaga Pemasyarakatan (UU No. 12 Tahun 1995) dan Advokat (UU No. 18 Tahun 2003)

Bahwa berdasarkan literature ini, DR. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. menjelaskan bahwa kepolisian secara lembaga adalah penegak hukum berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI, yang berarti, bahwa orang yang menjadi aparat kepolisian (Polisi) berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 adalah aparat penegak hukum, tanpa memandang aparat tersebut ditugaskan di bidang apa.

Hal ini pun sesuai dengan Fungsi dan Tugas Kepolisian dalam Pasal 2 & Pasal 13 huruf b UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian:

Pasal 2: “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”

Pasal 13: “Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Menegakan hukum; dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”

Dengan mengikuti cara berpikir hakim praperadilan tersebut, yang menafsirkan secara harafiah, maka penulis menemukan juga penafsiran secara harafiah berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu:

Aparat, berarti: 1. alat; perkakas: -- radio; 2. badan pemerintahan; instansi pemerintah; pegawai negeri; alat negara: -- Pemerintah; 3. perlengkapan: -- militer.Penegak berarti: orang yg menegakkan (mendirikan): para hakim adalah para ~ hukum.Hukum berarti: 1. peraturan atau adat yg secara resmi dianggap mengikat, yg dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; 2. undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; 3. patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dsb) yg tertentu; 4. keputusan (pertimbangan) yg ditetapkan oleh hakim (dl pengadilan); vonis; -- administrasi hukum tentang pelaksanaan fungsi (kegiatan kenegaraan);

Yang jika digabungkan kata demi kata, dan dihubungkan dengan perkara praperadilan dimaksud, maka aparat penegak hukum secara harafiah seharusnya berarti “Alat ataubadan pemerintahan atau instansi pemerintah atau pegawai negeri atau alat negara atauperlengkapan militeryang menegakkan peraturan yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat”.

Dari kedua literature yang penulis temukan di atas, maka menurut penulis, sesungguhnya Komjen. Pol. Budi Gunawan, yang pada saat itu berpangkat Kombes dan menduduki jabatan Karobinkar tidak dapat tidak dimaknai sebagai aparat penegak hukum hanya karena ia tidak bersentuhan langsung dengan hukum public. Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa ia bersentuhan langsung dan memiliki tanggungjawab dalam rangka menegakkan hukum di internal Polri yang menyangkut pembinaan dan karir, sehingga, sebagai seorang sarjana hukum, penulis sangat menyayangkan pendapat hakim praperadilan tersebut yang menerjemahkan secara harafiah, tanpa menunjuk suatu rujukan untuk menemukan tafsiran secara harafiah tersebut.

Jangan disalahkan jika nantinya masyarakat membuat olok-olokan atas status penegak hukum yang disandang oleh anggota kepolisian nantinya, bisa jadi jika seseorang hendak ditangkap oleh anggota polisi maka orang tersebut akan mengelak dan berkata “tunggu dulu pak polisi, status anda apa? Anda kan bukan penegak hukum....”

Lagi pula, jika melihat tafsiran dari hakim praperadilan Komjen. Pol. Budi Gunawan, yang memberi pengertian bahwa yang dimaksud dengan aparat penegak hukum adalah penyelidik, penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim, maka seolah-olah penegakan hukum hanya semata-mata diperlukan untuk menegakkan hukum pidana saja, padahal hukum yang harus ditegakkan itu bukan hanya hukum pidana saja, termasuk hukum yang mengatur internal suatu instansi.

Terkait dengan pertimbangan lainnya yang menyangkut pengertian penyelenggara Negara yang menjadi kewenangan KPK dan yang menyangkut mengenai batas minimum kerugian Negara serta jenis tindak pidana yang disangkakan kepada Komjen. Pol. Budi Gunawan, penulis sependapat dengan pertimbangan hakim praperadilan tersebut. Sedangkan menyangkut kewenangan KPK terkait Pasal 11 UU KPK huruf b, yaitu tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, penulis berpendapat bahwa ketentuan ini tidak memiliki tolak ukur.

Dari pandangan di atas, secara keseluruhan, berdasarkan sistem hukum di Indonesia, yaitu positivism hukum, maka menyangkut praperadilan, menurut penulis, sudah diatur secara limitative di dalam Pasal 77 KUHAP, sehingga hakim praperadilan seharusnya tidak dapat mempergunakan kewenangan yang diberikan kepadanya melalui UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kehakiman), untuk menemukan hukum atau menafsirkan lebih dari yang sudah diatur dalam Pasal 77 KUHAP, karena kewenangan untuk menafsirkan ataupun menemukan hukum berdasarkan UU Kehakiman juga dibatasi, yaitu hanya dapat dipergunakan disaat hukum yang mengatur tidak ada atau hukum yang mengatur tidak jelas. Dalam hal ini, mengenai praperadilan, hukum yang mengatur sudah jelas, yaitu Pasal 77 KUHAP dan aturan yang mengatur tersebut juga sudah jelas, yaitu limitative.

Dengan memahami filosofi dari pidana dan pemidanaan, dapat dipahami, bahwa hukum pidana akan selalu bersentuhan dengan kekuasaan (Negara) melawan warga Negara (orang-perorangan). Hal ini berarti, akan selalu ada, kekuasaan yang besar pada penegak hukum yang dapat dipergunakan secara subyektif, dan kelemahan yang teramat besar bagi orang yang berhadapan dengan hukum yang tergantung pada kekuasaan subyektif penegak hukum. Kewenangan kekuasaan yang besar yang melekat pada penegak hukum yang dapat dipergunakan secara subyektif tersebut, berdasarkan hukum positif yang berlaku saat ini, yang mengatur mengenai aturan penegakan hukum pidana materiil, yaitu KUHAP, tidak memiliki daya control yang cukup memadai untuk mengontrol kekuasaan tersebut, padahal harus dipahami jika Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.

Oleh karena itu, penulis berharap, pembuat undang-undang, yaitu legislatif dan eksekutif, segera mengesahkan RUU KUHAP yang baru, karena menurut penulis, permasalahan-permasalahan hukum yang mungkin timbul dikemudian hari akibat dari kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan, seperti yang dialami oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan sebagaimana permohonannya di dalam praperadilan di atas, telah diatur mekanisme hukum acaranya secara lebih detail, sehingga perdebatan-perdebatan yang penuh dengan berbagai macam interpretasi dapat dihindarkan dan kepastian hukum akan lebih terjamin yang akan berdampak pula kepada kepercayaan warga Negara terhadap penegak hukum di republik ini.

Betapa pahitnyapun kenyataan hukum yang ada saat ini, namun sebagai Negara hukum, yang sistem hukumnya adalah positivism, maka setiap warga Negara wajib menghormati hukum dan janganlah sekali-kali mengolok-olok hukum yang berlaku tersebut karena ketidaksesuaian dengan pemahamannya atau rasa keadilannya. Jika kenyataannya ada aturan hukum yang dirasa sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman, maka seharusnya hukum itulah yang harus diperbaiki melalui mekanisme hukum yang diperuntukkan untuk itu, bukan dengan cara-cara membangun opini yang justru memberikan dampak yang tidak baik bagi republik ini. Biarlah hukum menjadi panglima tertinggi!!!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline