Lihat ke Halaman Asli

Fiat Justitia Rua Caelum

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih segar dalam ingatan semua orang ketikamenjelang dan pasca ambruknya rejim orde baru, yang namanya korupsi (KKN) banyak dibicarakan orang. Budaya KKN yang sudah mendarah daging selama tiga dasawarsa itu menjadi pemicu utama berakhirnya rejim tersebut. Gelombang reformasi telah menghempaskan kekuasaan orde baru sedemikian dahsyat. Singkat cerita, Gusdur, Megawati dan B.J. Habibi sempat menduduki puncak kekuasaan (menjadi presiden), sampai pada akhirnya dilaksanakan Pemilu untuk memilih langsung seorang presiden. Dan, SBY-lah yang pertama kalinya terpilih.

Ada catatan penting dalam perjalanan sejarah pergantian sejumlah presiden pasca rejim orde baru, yakni dari ke-4 presiden tersebut sama-sama dituntut untuk melaksanakan salah satu agenda besar yaitu memberantas korupsi. Untuk yang satu ini, Gusdur, Megawati dan Habibi masih menuai kritikan status quo. Banyak elit politik beragitasi memilih menoleh ke belakang kembali, dan timbullah efidiektik di mana-mana. Ironisnya ada politisi yang mengatakan status quo pada pemerintah berkuasa, namun di sisi lain mengatakan seolah-olah orde baru memiliki masterpiece (karya agung), padahal sebelumnya andil dalam menumbangkannya.

Pemilihan presiden langsung oleh rakyat telah menggiring rakyat ke kancah demokrasi yang lebih bermakna dan benefit. Segala harapan digantungkan kepada pemimpin terpilih yang mengedepankan kepentingan rakyat, dan sadar sepenuhnya bahwa yang menjadikannya adalah rakyat. Sudahkah harapan itu tercapai?

Jawabannya relative, tergantung siapa yang menjawabnya. Elit politikah,, pendukung atau oposan? Saya termasuk yang belum puas dengan kinerja SBY-JK saat itu. Namun banyak yang tak dapat dimungkiri atas capaian SBY-JK. Pemerintah saat itu mampu menancapkan tonggakpundamental hingga mencapai masa incumbent, walaupun bertubi-tubi dilanda musibah nasional.

Miskin isu capres, kurangnya deliberatif, sepinya perdebatan politikus, dan vacumnya desakan demonstran kepada pemerintah SBY, mengindikasikan ada ketercapaian kehendak rakyat. Sehingga ketika menjelang Pilpres, para capres dan elit politik melakukan kritik di sana sini, yang didapat hanya julukan misantropis yang merugikannya karena terjebak pada status persona non grata. Mereka sibuk mencari-cari kelemahan pemerintah, ketimbang melakukan common touch. Mereka justru melakukan breaking of mindset rakyat sebagai daya tangkal agar rakyat tidak melihat hasil-hasil pemerintah. Padahal akan jauh lebih baik apabila mereka melakukan breakthrough dalam bentuk program yang ditawarkan kepada rakyat. Mengapa mereka menjadi oportunis yang misleading? Mungkin mereka kehabisan isu substansi sebagai komoditi politik, karena saat itu semua tatanan dan tuntutan sudah dan sedang berjalan dilakukan incumbent. Singkat cerita, atas dasar penilaian integritas dari konstituennya, Pilpres 2009 membuat SBY terpilih menang mutlak.

Pilpres 2009 itulah yang telah kita jadikan momen untuk menentukan pemimpin masa depan lewat hati nurani bukan karena hasil pengaruh misencoding dari suguhan-suguhan pengelabu rakyat. Siapapun yang akan menjadi pemimpin nanti, rakyat siap berada di garda depan mengawal langkah-langkah pemerintah. Peran pembuat kebijakan (policy making role) juga diharapkan konsekwen pada pola pikir dan pola ucap yang ia lantangkan sambil membanggakan diri ketika kampanye. Tentunya saat itu rakyat berharap pemimpin ke depan dapat melanjutkan program pemerintah yang pondasinya telah diletakkan sebelumnya. Pemberantasan korupsi misalnya, jangan sampai stagnan lantaran terganggu oleh alasan tetentu. Dan, modal untuk berani membersihkan koruptor itu berada pada calon pemimpin yang bersih, cerdas dan bermoral. Aktualisasi perpaduan kapasitas itu hendaknya mampu memandu sepanjang masa kepemimpinannya. Aktualisasi positif yang mengatasnamakan kepentingan rakyat kita anggap kewajiban bukan pencitraan. Para elit politik hendaknya tidak membuat statemen bias nilai-nilai positif yang membingungkan rakyat awam. Sebab perilaku politik seperti ini cepat atau lambat akan merusak aspek tata budaya. Tipu daya kepada rakyat yang demikian hanya akan menimbulkan reaksi pantulan pada dirinya manakala ia tidak dapat memuaskan rakyat di kemudian hari.

MENGAPA SBY TERPILIH?

Komitmen untuk memberantas praktek korupsi memang patut mendapat acungan jempol. Saat itu pemerintah SBY-JK tidak menunda-nunda waktu, langsung menerbitkan Inpres nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Pemerintah menganggap bahwa pemberantasan korupsi merupakan tantangan besar bangsa ini. Sebagai par excellence yang terpilih, bagi SBY gampang-gampang saja. Ia buat inpres, UU, dan bentuk KPK kemudian implementasikan. Alhasil, selama4 tahun pemerintahannya lebih dari 500 koruptor telah ditangkap, diproses, dan dibui. Entah berapa triliun uang negara disedot kembali dari para koruptor masuk ke kas Negara.

Pemberantasan korupsi yang tidak pandang bulu dibuktikan pula oleh Pemerintah. Saat itu SBY terpaksa harus berhadapan dengan seorang besan koruptor (maaf). Sebagai manusia biasa, siapalah orangnya yang tidak akan terpukul wilayah batinnya ketika keluarga yang harus dijunjung tinggi martabatnya terkoyak nama baiknya. Tapi bukan SBY namanya kalau harusmelupakan amanat rakyat. Fiat justitia ruat caelum (hendaklah keadilan ditegakan biarpun langit harus runtuh). Ya, memang, belum seberapa dibandingkan dengan Khalifah Umar yang menghukum anaknya sendiri hingga tewas.

Memberantas korupsi dan reformasi birokrasi agaknya bagi SBY saat itu bukan sekadar membangun trust, akan tetapi lebih cenderung kepadameraih virtue (kebajikan) yang bermuara pada puncak kebahagiaan bersama (eudaimona).

Tentunya keberhasilan seorang pemimpin tidak mutlak ditentukan oleh kecerdasan atau sebab dari keadaan semata. Akan tetapi ditentukan pula oleh segenap potensi yang didasari jiwa filantropi (semangat untuk mengabdi pada rakyat). Yang jelas, ketika pemimpin mampu menempatkan “salus populi suprema lex esto” (keselamatan rakyat adalah undang-undang tertinggi), maka ia akan berada di atas semua yang lain (par excellence). Citra inilah yang waktu itu nampaknya ada pada kepribadian SBY. Dan, inilah mungkin yang mengantarkan beliau kembali menjadi presiden di negeri ini.

QUO VADIS RAKYAT?

Sampai titik manaharapan rakyat saat ini penulis tidak tahu. Namun yang jelas mimpi indah rakyat yang berharap menjadi kenyataan hanya menjadi obrolan yang diulang-ulang. Ternyata, pemerintah yang sekarang tidak lebih baik dari sebelumnya walaupun masih orang yang sama. Korupsi dampak dari otonomi daerah malah makin menggila, nepotisme di mana-mana, dan penyelenggaraan pendidikan di daerah semakin kamuplase akibat dari asal menempatkan orang-orang birokrasinya. Korupsi yang terjadi di daerah-daerah (pemerintah daerah) semakin berani dan tak pernah terjamah oleh pemerintah pusat. Karena di pusat pun ternyata setali tiga uang, sama korupnya. Kasus suap wisma atlet cukup membuktikan bahwa pemerintahan ini tidak anti korupsi dan kasusnya banyak melibatkan orang-orang yang notabene politisi partai penguasa, yang sebelumnya dianggap popular oleh hampir 60% rakyat. Lalu, ke mana jati diri SBY? Yang dahulu dianggap dapat menegakkan keadilan (fiat justitia ruat caelum).

Reshuffle kabinet tidak ada korelasinya dengan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, kecuali mengalihkan perhatian rakyat dan media masa. Reshuffle kabinaet hanya akan memberikan nilai tambah apabila mencopot menteri yang dicurigai terlibat korupsi. Bangsa ini mengharapkan agar pemberantasan korupsi dilakukan sampai ke akar-akarnya tanpa pandang bulu, agar rakyat sedikit terobati. Dan sebaliknya apabila yang terjadi aksi “hidden”, maka secara tidak langsung pemerintah telah mengkandaskan harapan rakyat. Haruskah rakyat membuktikan ucapan seorang akademisi 3 hari yang lau, yang mengatakan bahwa reshuffle kabinaet belum tentu mengantarkan SBY sampai tahun 2014? Wallahu a’lam.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline