Lihat ke Halaman Asli

Johara Masruroh

Teacher and mother of two kids

Ketika Perempuan Tak Diizinkan Bekerja

Diperbarui: 14 Agustus 2021   20:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Tulisan ini  adalah lanjutan dari tulisan saya sebelumnya yang berjudul " Dilema Perempuan Bekerja dan Curhat Lainnya." 

Tulisan tersebut dapat dibaca di sini:  https://www.kompasiana.com/komentar/joharamasruroh3027/610fe7dd6e7f0135563e2932/dilema-perempuan-bekerja-dan-curhat-lainnya

Sebelum saya menjadi guru, saya pernah bekerja di suatu tempat (tak perlu saya sebutkan) yang para pekerjanya mayoritas adalah laki-laki. Saya kerap ditanya oleh mereka (para laki-laki itu) dengan pertanyaan semacam," Mengapa kamu harus bekerja? Mengapa tidak di rumah saja? Saat ini anak-anakmu bersama siapa?

Saya berterus terang kepada mereka bahwa saya ingin menghasilkan uang sekaligus ingin memanfaatkan keterampilan dan ilmu yang saya miliki. Anak-anak saya aman berada di rumah bersama neneknya, terkadang juga ayahnya, atau bersama baby sitter saat orang rumah sedang repot dengan tugasnya masing-masing. Ya, saya berbagi tugas dengan suami dan dia tak segan membantu saya mengurusi pekerjaan rumah, seperti mencuci, bersih-bersih, dan lain sebagainya.

Mendapatkan jawaban saya, mereka tertawa. "Apa, suamimu kamu biarkan mencuci bajumu? Sungguh, luar biasa."

Kata "luar biasa" di situ tentu saja bermakna sebaliknya. Sepertinya teman-teman saya itu menganggap saya sebagai wanita yang kurang ajar. Bagi mereka, lelaki tak pantas mencucikan pakaian perempuan. Ini menyalahi tradisi yang sudah berjalan.

Ya, masyarakat kita memang dikenal sebagai masyarakat yang sangat menjaga tradisi. Laki-laki bekerja di luar dan perempuan melulu berurusan dengan segala pekerjaan rumah. Saya tidak hendak mengatakan bahwa ini salah, hanya saja terkadang tanpa disadari hal tersebut bisa menimbulkan kerugian baik bagi lelaki maupun perempuan di masa depan.

Ditinggalkan pasangan entah itu karena perceraian atau karena dipanggil Tuhan, bisa menimpa siapa saja. Sering kita jumpai wanita-wanita yang ditinggal suaminya harus berjuang sendirian mempertahankan hidup dan membesarkan anak-anak. Mereka hidup dengan penuh perjuangan tanpa bantuan pihak laki-laki.

Mungkin tidak akan jadi masalah bagi perempuan yang ditinggali banyak harta oleh suaminya. Namun, bagi perempuan tanpa harta peninggalan, kematian suami adalah mimpi buruk yang sangat sulit diterima. Apalagi bagi wanita tanpa modal keterampilan kerja. Tentu tak mudah bagi mereka mempelajari hal baru saat masih berduka cita atas peninggalan suami, sementara anak-anak secepatnya butuh popok dan susu.  Bukankah kondisi semacam ini sangat menyulitkan bagi perempuan?

Kita sudah sering menyaksikan, tidak sedikit kasus perempuan yang terlunta-lunta membesarkan anak sendirian dengan kerja serabutan. Mereka harus berhutang sana-sini, numpang hidup pada kerabat yang seringkali justru menimbulkan perselisihan.  Parahnya, yang merasa tak memiliki jalan keluar, dengan terpaksa memilih mengemis, mencuri, atau menjual diri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline