Andai bisa kuminta, mungkin aku akan lebih memilih untuk tidak terlahir ke dunia. Bukan, bukan bermaksud kurang ajar kepada Sang Maha Pemberi Kehidupan. Aku hanya merasa semua terlalu rumit. Ini semua terjadi setelah Marni, tetanggaku, menceritakan sebuah kisah.
Suatu siang, Marni mendatangiku saat aku sedang menjemur pakaian. Wanita itu sedikit lebih muda dari ibu, tetapi karena sifatnya yang menjengkelkan, aku enggan untuk sekedar menambahkan panggilan bibi atau bulek di depan namanya. Entah apa maksud Marni menceritakan kisah ini kepadaku dengan sumringah tanpa sungkan sedikit pun.
"Aku kasih tahu sesuatu ya. Mamat itu bisa jadi bukan bapakmu, lho."
"Jangan bercanda kamu, Mar!" timpalku.
"Eh, kok ngeyel. Tanya saja sama ibumu. Bapakmu itu memang bisa jadi Mamat, bisa juga bukan. Bisa jadi Mardi, bisa jadi Anto, bisa jadi Beni atau bisa jadi juga Parto.
"Memang apa urusanmu bilang begitu? Kamu tahu sesuatu?"
Marni mendekatkan tubuhnya yang gembrot dan bau terasi padaku. Kini nada bicara Marni lebih lembut dari sebelumnya.
"Begini ... aku tak bermaksud apa-apa. Kamu kan sudah dewasa dan perlu tahu tentang sejarah hidupmu. Aku sendiri sebenarnya juga tidak tahu siapa bapakmu. Tetapi dulu sebelum Mamat mengawini ibumu, ibumu pernah berkencan dengan beberapa pria. Sialnya, ya termasuk Mamat yang sekarang ini menjadi bapakmu itu."
"Ngaco kamu, Mar!" Aku pergi menjauh dari Marni, tetapi tangannya yang gempal buru-buru menarik bajuku.
"Ibumu akhirnya hamil dan bingung menentukan siapa bapak kandung bayinya. Kakekmu sangat malu, kemudian memanggil siapa saja yang pernah berkencan dengan ibumu dan mengundi orang-orang itu. Waktu itu nama Mamat yang keluar dan mau tak mau dia harus bersedia mengawini ibumu." Marni mengakhiri ceritanya sambil mengelus-elus punggunggku seolah prihatin akan nasibku, padahal aku tahu jelas itu palsu.