Lihat ke Halaman Asli

Johara Masruroh

Teacher and mother of two kids

Kisahku Meninggalkan Buah Hati

Diperbarui: 11 Agustus 2021   16:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay

"Mengapa Bunda mesti pergi?" tanya anakku saat kukemasi pakaian dari dalam lemari.

"Bunda pergi kerja, Nak. Nanti Bunda belikan lebih banyak mainan." Kujawab singkat karena tanganku sibuk menjejalkan pakaian ke dalam koper. Beberapa hari ini, dengan hati-hati kujelaskan padanya bahwa aku akan bekerja di tempat yang agak jauh dan hanya pulang pada akhir pekan. Untuk membuatnya senang, aku berjanji akan membelikan kebab kesukaannya setiap kali pulang.

Kepada Fathir, anak berusia lima tahun itu, tentu aku tidak bisa menjelaskan dengan detail bahwa kini aku diterima menjadi Aparatur Sipil Negara yang ditempatkan di luar daerah. Toh, dia belum mengerti apa itu Aparatur Sipil Negara. Selama ini yang dia tahu, aku adalah seorang guru di sekolah dekat rumah. Pergi setiap pagi dan kembali ke pelukannya saat jam sekolah usai.

Aku sendiri sulit membayangkan bagaimana Fathir akan menerima kenyataan bahwa aku tidak lagi hadir menemaninya bermain dan belajar. Fathir yang terkadang masih rewel saat kutinggal ke sekolah, tiba-tiba tak lagi melihatku selama lima hari dalam seminggu. Bagaimana jika ia terus menangis atau tak mau makan? Pertanyaan itu hinggap di kepala sejak kuketahui bahwa aku tidak ditempatkan di daerah tempat tinggalku. Namun, orang-orang terdekatku bilang, "segala sesuatu memang butuh perjuangan, nanti akan terbiasa jika sudah biasa."

Satu hal lagi yang paling kurisaukan ialah bagaimana ia akan tidur jika selama ini hanya rambutku yang menjadi pengantar tidurnya. Tepat di saat aku memikirkan hal itu, Fathir, dengan bibirnya yang mungil merengek padaku.

"Bun, aku mau rambut." Kulihat ia menguap. Karena aku tak tega, kuhentikan tanganku yang masih berurusan dengan barang-barang yang akan kubawa ke Lamongan. Aku menuntunnya ke tempat tidur, melepas ikat rambut dan membiarkan rambutku tergerai. Tangan kecilnya langsung menyambar. Ia memainkan rambutku sambil sesekali menciumnya.

"Cuma rambut Bunda yang paling kusayang." Aku terkekeh. Di rumah ini, hanya rambutku yang sering dimainkannya. Pernah kutanya mengapa ia suka pada rambutku. Dia menjawab sekenanya, rambutku terasa nikmat di genggamannya. 

"Bun, apa sekolah di Ngawi dan di Lamongan itu tidak sama?" Aku terdiam sejenak. Kucium keningnya cukup lama. Aku tahu pertanyaan yang terlontar itu masih sama dengan sebelumnya. Kucoba menimang-nimang kalimat apa yang tepat kukatakan padanya. Namun, tak berhasil kurangkai kata untuk membuatnya lebih tenang.

Kulepaskan bibirku dari keningnya yang mulus. Kening yang selalu kubacai salawat saat ia lelap ke dalam mimpinya. Hanya beberapa detik kemudian, air matanya tumpah, merembes  ke dalam pakaian yang kukenakan, kemudian ke ulu hatiku. Aku mendekapnya. Tubuhnya justru semakin berguncang. Kupeluk dia lebih erat dengan perasaan yang tak bisa kujelaskan.

Kukatakan pada diriku sendiri agar aku tak menangis di depannya. Aku tak ingin membuat tangisnya menjadi-jadi. Namun percayalah, sedih di dadaku terasa lebih menyakitkan dari sakit yang kuderita saat aku melahirkannya ke dunia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline