Lihat ke Halaman Asli

Buatlah Aku Terjaga

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tepat setengah sembilan malam, langkahku tiba di sebuah kawasan perumahan elit. Di jam segitu, hanya aku saja yang masih kelayapan melangkah lunglai diapit rumah megah terang-benderang di kanan kiriku. Entah berapa puluh malam dan entah berapa puluh setengah sembilan langkahku tiba di sini. Menyaksikan kemewahan secara nyata buah karya manusia miskin macam diriku. Yang dengan hanya dibayar 45 000 rupiah perhari, rela berpanas-panasan diterpa debu bercampur pasir.
Terkadang lucu juga melihat tingkah-polahnya orang miskin. Dimana-mana sibuk membangun dan membangun terus. Tapi setelah berdiri sebuah hunian berdasarkan gambar seorang arsitek kenamaan, mereka malah pergi bukannya tinggal menyinggahi. Namun itulah kehidupan. Orang berduit punya rencana, orang miskin mengerjakan. Maka dengan begitu terjadi hubungan saling menguntungkan antara satu dengan lainnya. Sekarang coba kita bayangkan andai di dunia ini tidak ada orang miskin. Siapa yang mau membangun? Andai pun ada, berapa gaji yang harus dikeluarkan demi mengupah orang tersebut?
Di sini, tingkat sosial para penghuninya rapuh sekali. Dituntut harus mandiri, mengatasi masalah sendiri. Andai suatu malam ada bunyi kretak-kretek dan setelah dilihat ternyata pria bertopeng tengah mencungkil jendela, kita jangan coba-coba teriak minta tolong. Percuma, selain hanya membuang energi, tetangga takkan datang membantu. Jadi, yang harus kita lakukan adalah: mengambil benda tumpul lalu dihantamkan ke kepala si pria bertopeng. Setelah ia pingsan, baru lapor polisi. Cepat, efektif, murah, nantinya dapat seribu pujian dari polisi.
Andai suatu waktu kita terbaring sakit sampai untuk membuka mata pun sulit, jangan pernah berharap satu-persatu tetangga menjenguk membawa se kaleng susu kental, roti tawar, meses ceres dan gula pasir. Jangan!! Sekali lagi jangan!!! Karena yang ada kita malah akan mati secara perlahan membawa harapan kosong dikasihani. Dan andai mati itu tetap tak terelakan lagi, jangan pula berharap ada tetangga melayat mengenakan pakaian serba hitam sampai kaca mata pun hitam, menangisi kepergian kita ke alam baka. Maka untuk mensiasati itu semua, ada baiknya kita menyediakan lubang kubur jauh-jauh hari, supaya nanti begitu penyakit bertambah parah, bisa langsung tertatih mencemplungkan diri ke sana.
Semua kepengurusan keamanan, lancarnya air, iuran ini iuran itu, diserahkan sepenuhnya pada petugas perumahan yang hingga kini sama miskinnya dengan aku. Gaji mereka hanya cukup buat makan dua kali itu pun lauknya hanya ikan sepat kuku, kangkung 500 an seikat, dan tempe goreng kadang-kadang. Padahal mereka telah mengabdi sepenuh hati selama bertahun tahun, etos kerja mereka diharapkan terus meningkat karena merasa telah diberikan gemblengan melalui rapat rutin setengah bulan sekali.
Di kiri tempatku berdiri saat ini, menjulang megah rumah kelaurga Saeful Hidayat, penghuni pertama asal Majalengka. Mereka tergolong paling ramah meski anjing mereka bernama si Polilh selalu garang mengancam mengigit pantat siapapun mendekat. Sang suami, pak Saeful Hidayat adalah pengelola properti bahan bangunan di seberang sana. Pernah beberapa kali mandorku menyuruhku berbelanja darinya dan memang terbukti bagus barangnya, tak terlalu mahal harganya. Pak Eful dalam prinsip dagangnya menerapkan bebas pilih, bebas menetukan harga sendiri. Begitu kita datang menanyakan padanya barang A atau B, bukan hanya satu merek termurah yang disodorkannya, tapi dua sampai tiga dengan beragam harga tentunya.
“Ini yang paling bagus, harganya sekian.... ini nomer dua terbagus, harganya sekian.... dan ini nomer tiga terbagus, harga sekian. Jadi you pilih mana?”
Ditanya demikian, biasanya pembeli menimbang-nimbang dalam benaknya, plus mengingat-ngingat jumlah kocek di sakunya. Lalu setuju, mengambil salah satu.
Kejujuran amat Eful pegang dalam bisnisnya; makanya dia terus meraup untung baik dari si miskin atau si kaya. Sementara istrinya Eful, Shesil Maharanie, adalah seorang bidan di sebuah puskesmas. Dia pun terkenal paling ramah, paling mengerti kemauan dan kenyamanan pasien gratisannya itu. Saat ia memeriksa, makas si pasien diperlakukan bak seorang raja, bahkan terkadang seperti ke anak kecil. Walhasil, para rakyat miskin, janda-janda tua, rela menunggu hari dimana bidan Shesil lah petugasnya.
Tapi anak-anak bidan Shesil rata-rata pada jutek. Yang pertama, Indah Kesuma Wardani, kuliah di fakultas kedokteran menginjak tahun ketiga, lagi kebat-kebit mempersiapkan diri menjelang koas. Sedari awal masuk kuliah, Indah di asramakan di asrama terbaik, termahal, terdekat ke kampus, selanjutnya pindah kost di kossan termahal, terkomplit, macam di rumah sendiri. Toilet duduk, lemari es, telpon rumah, tv kabel, air panas dingin, serta fasilitas pendukung lainnya yang serba memudahkan. Jadi lah Indah tentrem-ayem loh jinawi, otak dalam tempurung kepala mungilnya terfokus hanya pada pelajaran di bangku kuliah. Sedap betul dia.
Anak kedua, si IWIW (Indah Widiastuti Wardani) sekarang baru menginjak kelas tiga SMU. Dalam hatinya yang hanya sebesar kepalan tanganmu, menggelora semangat mengikuti jejak sang kakak masuk gerbang kedokteran. Dibanding si IKIW (Indah Kesuma Wardani) gaya hidup IWIW lebih sederhana. Pak Eful menjatahkan 30,000 untuk uang jajan, IWIW hanya mengambil sepuluh ribu, itu pun ditabungnya separuh di celengan ayam jago. Tingkat sosialnya lebih bagus, tak segan mengucurkan biaya demi membantu usaha teman dari kalangan miskin asalkan dia jujur mengelolanya. Sederhana bersahajanya, dia.
Anak ke tiga, Chintya Muakhir Wardani (si CMIW) baru masuk kelas 1 SMU. Berbeda dengan kakaknya yang bertekad menjadi dokter, dia justru lebih menyukai pelajaran berbau IPS. Senang baca puisi, menyukai novel dan karya tulis lainnya. Tapi sampai kini dia belum mampu meniru karya bermutu. Padahal ia telah coba berulang kali, belajar sana belajar sini, tutor ini tutor itu, beli buku ini buku itu, tetap tak membantu CMIW menajamkan penanya. Karyanya tetap ngemlek dalam peti es para penerbit besar. Semua editor menolak dengan sengit dalam batinnya, kemudian mencampakan karya CMIW ke peti dokumen hendak dibuang begitu CMIW melangkah pulang. Kasihan betul dia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline