"JOHAN SINATRA!!! SUNGGUH MASAMU TELAH HABIS!!!" bentak Malaikat maut, sama dahsyatnya dengan petir.
Meski belum mau, terpaksa aku berkata terbata-bata, "Baiklah. Jika benar kau telah diutus Allah mengambil nyawaku. Silakan. Tapi izinkan aku membayangkan bu Gadis untuk terakhir kalinya."
Wajahnya yang semula sangar, kini melunak. Lalu ia mengangguk takzim. "Atas izin Allah. Permohonanmu dikabulkan. Silakan."
Namun belum puas kubayangkan bu Gadis melayani setoranku yang ke 19, Malaikat maut mundur satu langkah, membungkuk, lalu dengan cara yang diajarkan Allah Ia mulai mengambil nyawaku dari ujung kaki. Rasanya luar biasa. Tertusuk peniti, tersandung batu, kejedot tembok, kelingking terlindas truk, masih belum seberapa dibanding rasa dicabut nyawa. Aku mengejang, mengeluh tertahan melalui gigi terkatup rapat. Bayang bu Gadis berkelebat dalam kepalaku yang berputar-putar. "Jangan dilawan, pak Johan. Percuma. Sekuat apapun pak Johan melawan, ttp tiada artinya. Lepaskanlah. Dia lebih kuasa dibanding pak Johan."
"Baiklah, bu Gadis. Demi ibu--aku siap meninggalkan dunia ini. Aku akan menunggumu di sana. Untuk hidup bersamamu selamanya. Aku cinta sama ibu. Sungguh. Aku cinta sama ibu."
Bu Gadis melepas melayangnya arwahku dengan senyum menegarkan. Aku percaya. Aku yakin dia akan memenuhi janjinya untuk terus bersamaku di alam sana. Di alam keabadian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H