Lihat ke Halaman Asli

anak malang

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ibu bangkit, memberondong dengan ceramah panjang lebar dalam nada tinggi, "Hey, pak! Mana bisa di besokkan. Aku dan anakmu mau makan apa!? Makan angin!? Please deh pak. Manusia tidak bisa hidup hanya makan angin..."
Ayah tak menjawab lagi. Namun kutahu dalam hatinya menggerutu. Disingkapnya tirai kamar, lalu kudengar ia menjatuhkan diri di ranjang.
Ibu menyusul, menutup tirai dengan kasar, lalu kembali melanjutkan ceramah yang tadi tertunda karena ditinggal mustami.
"Pak! Bapak ini gimana sih. Jadi suami kok gak ada tanggungjawabnya sama sekali. Orang hidup perlu duit, pak.... Tanpa duit, cinta mati tidak ada artinya...."
Berani-beraninya ibu mengatakan cinta. Padahal yang kuperhatikan, tiada cinta di hati ibu. Dia hanya menjadikan ayah sebagai lumbung duit. Yang setiap kali ia butuh hanya tinggal menekan tombol warna hijau. Maka akan keluarlah dari celah setebal jari orang dewasa sejumlah yang diinginkan. Dan kalau suatu waktu mesin itu macet, maka cukup ditendang agak keras dengan sepatu lancip.
Tak mendapat perlawanan, ibu akhirnya diam, lalu tidur memunggungi ayah.
Keesokannya, ibu bangun terlambat. Bahkan sampai ayah mengecup keningku sebelum pergi, dia belum juga bangun. Ini pasti sengaja ia lakukan sebagai hukuman atas ketidakmampuan ayah memuaskan nafsu belanjanya.
"Ayah pergi dulu, ya? Kamu baik-baik di rumah." ucap ayah, yang lalu di akhiri mengacak-ngacak rambutku.
"Iya, ayah. Aku akan ingat selalu pesan ayah."
"Bagus."
Senyum ayah kali ini terasa hambar. Terlihat sekali ia tertekan, ingin marah, tak berdaya, merasa gagal membina keharmonisan rumah tangga. Dan aku sedih melihatnya. Andaikan bisa, ingin kuhapus rona sedih di wajahnya. Meringankan segala beban di pundaknya dengan menggantikannya bekerja. Namun aku tak berdaya. Jemariku masih belum cukup kuat menggenggam, jalinan otot pun belum terbentuk sempurna.
Kuperhatikan punggung ayah menjauh, dan ketika berbelok, ia menoleh padaku di mulut pintu. Dan sekali lagi ia melemparkan senyum seperti tadi. Mengiris batinku kian mendalam. Hatiku berkata, "Ayah? Aku janji. Kelak aku dewasa, aku akan kembalikan senyum termanismu."
Seolah ayah mendengar kata hatiku, ia mengangguk. Senyumnya makin lebar meski cenderung dipaksakan.
"Denissss!!!"
Jerit ibu di belakangku. Aku pun tersentak, berpaling, mengiyakan panggilannya. Ayah masih menatapku, ia lagi-lagi mengangguk. Berisyarat agar aku segera menemui ibu.
Habis menyingkap tirai, mataku disuguhi pemandangan mengerikan. Saat itu ibu tengah bersandar di tempat tidur. Pucat berminyak-minyak, sebagian besar rambut kusut masainya menutupi wajah. Andai pakaiannya kucel, ibuku sama halnya dengan perempuan gila yang selalu tidur di pos ronda dekat balai desa.
"Iya bu..." sesantun mungkin aku mengucapkannya. Ibu gampang sekali tersinggung.
"Masakan air untuk ibu! Ibu mau mandi!"
"I i iya bu." tergagap aku mengatakannya. Teror tiba-tiba menguasai tubuhku. Betapa takutnya aku ketika ibu bersikap begini.
"Cepetan!!!"
Bentakan ibu laksana cambuk menghantam pantatku. Aku pun segera melompat keluar. Saking tergesa-gesanya, di luar, lututku menubruk bufet rendah dua pintu. Sakit memang, namun kutekan kuat-kuat. Ibu paling tidak suka aku mengaduh, apalagi menjerit kesakitan.
"Jadi pria jangan cengeng!!! Jangan tiru bapakmu yang payah itu." kata-kata pedas itulah yang kudapat, seraya kupingku dijewernya.
Pernah aku menangis karena terlampau kesakitan. Namun apa yang kudapat, coba? Aku malah ditampar. Makin keras aku menangis, makin keras ibu menampar.
"Sudah diam!!"
Plak!!
"Aku bilang, diam!!"
Plak!!
Sejak itulah aku tak pernah menangis sekeras apapun ibu menyiksaku. Selain percuma, deritaku malah makin panjang lagi pedih. Terkadang aku berfikir. Sebenarnya aku ini anak kandungnya atau bukan sih?
Sial bagiku, sial pula bagi ayah. Kompor sumbu di dapur kami tak menyala karena minyaknya habis.
"Waduh! Bagaimana ini?"
Aku kebingunan sendiri. Ibu sudah pasti takkan terima. Apapun kesulitannya, air tetap harus panas agar kulit mulus ibu tak berduri sebab kedinginan.
Kubuka pintu keluar samping kompor. Dan hatiku menjadi dingin. Kayu bakarnya habis. Itu artinya, aku harus menempuh 3 kilo meter demi mendapatkannya. Membujuk habis-habisan mandor proyek agar mau sedikit mengkorup kayu hendak dipakai.
"Deniiiiis!! Mau kemana kamu!" teriak ibu dari balik jendela berteralis kayu. Penampilan ibu belum berubah. Masih seperti perempuan gila penghuni pos kamling.
"minyaknya habis, bu... Aku harus cari kayu bakar dulu...."
ibu makin marah, ia menekan gusar kedua deret giginya, mencengkram teralis seolah hendak meremukannya. "Khkhkhkh!! Ini semua gara-gara ayahmu! Ya sudah. Cepetan! Aku sudah telat!!"
"I i iya, bu."
Kupacu langkahku, mengincar dimana proyek sedang berlangsung. Setibanya di jalan raya, jauh di belakang sana, kudengar lengking sirine polisi. Aku makin cepat berlari seolah mobil itu mengejarku.
Setibanya di proyek, peringatan keras menyambut.
HATI-HATI, KELUAR MASUK KENDARAAN PROYEK
TOSERBA KEWES PANTES
Aku tak peduli, bahaya lebih besar justru sedang menunggu di rumah. Meski ayu parasnya, aduhai body-nya, lemah gemulai ketika melenggang melintas warung kopi. Dia lebih bahaya dibanding Drakula Eropa.
Seorang pria keluar dari warung. Melihatku berlari ke arahnya, ia menghadang. Detik berikutnya, tangannya yang panjang, pipih bagai kecoa mencengkram bajuku. "Hey! Mau kemana kamu! Orang luar tidak boleh masuk!"
"Pak? Aku hanya mau ngambil kayu bakar! Tolong izinkan saya masuk..."
"Apa kau bilang!? Kayu bakar!! Disina tidak ada kayu bakar!! Lihat! Semua penyangga memakai besi!!"

Bersambung....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline